Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Belok Kiri Bayar, Belok Kanan Bayar!


KAKEK dari pelosok yang baru pertama ke Jakarta dibawa cucu jalan-jalan. Dia perhatikan, saat mobil belok kiri keluar ruas tol yang satu masuk ruas tol lain, cucunya membayar di loket! Begitu pula saat belok kanan masuk ruas tol berikutnya!

"Gila nian hidup kalian di Jakarta!" entak kakek. "Bawa mobil belok kiri bayar, belok kanan bayar!"

"Huahaha...!" cucu terbahak. "Bahkan setelah ini kita keluar tol, lurus pun harus bayar!"

"Itu lebih gila lagi!" timpal kakek. "Padahal, kalian di Jakarta ini kebanyakan sekolah tinggi, orang-orang pintar! Seperti ayahmu, jauh dari desa kemari untuk kuliah! Setelah pintar malah lebih mudah 'dipintari' orang lain, belok kiri bayar, belok kanan bayar, lurus juga harus bayar! Warga desa yang tak sekolah tinggi saja sesuka hati belok atau berputar di jalan raya tidak bayar!"


"Karena jalan raya yang melintas desa itu jalan negara, dibangun dengan anggaran negara!" ujar cucu. "Sedang jalan tol dibangun investor karena negara tak sanggup memenuhi kebutuhan jalan buat pertambahan kendaraan yang amat pesat, jadi modalnya harus kembali dan dapat untung!"

"Untung selamanya?" potong kakek.

"Seharusnya tidak!" jawab cucu. "Di negeri lain, investor jalan tol terikat kontrak BOT—build, operation, transfer (bangun, operasi, dan serahkan). Setelah 30 tahun operasi, investornya menyerahkan kepada negara! Di jalan antarkota Jepang dan China kulihat, pada ruas tol yang sudah transfer pelintas gratis, masuk ruas yang belum transfer bayar! Di sini wacana transfer tak terdengar, atau mungkin bisa diperpanjang!"

"Kok bisa begitu?" tanya kakek.

"Karena 'negara' kita selalu bermurah hati kepada investor, terutama asing!" jelas cucu.

"Contohnya dalam kontrak bagi hasil dengan PT Freeport yang diberi konsesi gunung emas di Papua, 'negara' kita cuma ambil bagian 10%! Rakyat Papua protes, tokoh lintas agama protes, hasil audit mendesak renegosiasi, tapi 'negara' memilih tetap begitu!"

"Baru tahu aku kalau kekayaan alam negeri kita dikelola untuk sebesar-besarnya kemakmuran investor asing, sedang rakyatnya dibiarkan miskin terus! Bahkan jika ada konflik investor dan rakyat, 'negara' memihak investor!" timpal kakek. "Seperti rakyat Papua, dianugerahi Tuhan gunung emas, sampai lelah konflik pun akhirnya cuma bisa menonton investor asing yang menikmatinya!"

"Meski begitu, dalam kaitan dengan investor warga Papua masih mending, bisa menonton gratis!" tegas cucu. "Sedang orang-orang pintar di Jakarta tak bisa mengelak, belok kiri bayar, belok kanan bayar, lurus pun harus bayar!" ***

0 komentar: