"BANGUN! Bangun!" entak suami mengoyang tubuh istri yang berteriak-teriak dalam tidur.
"Maling! Ada maling!" jawab istrinya sambil membalikkan badan untuk kembali tidur.
"Bangun dulu!" ujar suami. "Kalau tidur lagi, mimpi buruk bisa nyambung! Teriakanmu tadi memutus impianku yang indah!"
"Mimpi indah?" istri tersentak dan bangkit ikut duduk. "Masak kita tidur seranjang, sekasur, sebantal, impiannya berbeda?"
"Maka itu! Tidur seranjang saja impian orang berbeda, ideologi apa pun takkan bisa memaksa warga agar bermimpi sama!" tegas suami.
"Begitulah seharusnya!" timpal istri. "Justru kebebasan menikmati impian masing-masing itulah yang menjadi inner dinamic sebuah bangsa! Seperti harga sebagai invisible hand yang menggerakkan mekanisme pasar dalam teori Adam Smith, impian juga menjadi invisible hand yang menggerakkan mekanisme kehidupan berbangsa dan bernegara!"
"Sebab itu, istilah invisible hand tak harus ditafsirkan negatif seperti tangan hantu yang merusak impian tertentu!" sambut suami. "Tapi, seperti harga dalam terminologi Adam Smith, impian sebagai invisible hand dalam mekanisme berbangsa adalah nilai!"
"Nilai memang sinonim harga!" tegas istri. "Setiap nilai mendorong setiap warga yang meyakininya untuk mewujudkan atau menghindarinya, lewat suatu tawar-menawar dalam proses demokrasi! Demokrasi pun, tak ayal, menjadi sinonim pasar, tempat tawar-menawar nilai, tawar-menawar impian!"
"Dalam demokrasi, setiap warga berhak mewujudkan impian yang diyakininya sesuai harga yang disepakati bersama warga sebangsa!" timpal suami. "Berlangsungnya proses tawar-menawar secara terbuka itu meniscayakan demokrasi sebagai jalan mewujudkan impian lewat jalan damai!"
"Maka itu, tak pada tempatnya jika dalam proses tawar-menawar itu terjadi pemaksaan, karena demokrasi tercipta sebagai 'pasar' tempat orang meraih impiannya secara damai!" timpal istri. "Amat tak etis jadinya, mendiskredit suatu golongan yang membawa nilai-nilai yang diyakininya ke proses tawar-menawar di arena demokrasi sebagai invisible hand negatif, dianggap sebagai ancaman bagi proses transisi!"
"Justru sebaliknya, proses transisi atau reformasi jadi tersendat-sendat akibat adanya kecenderungan pemaksaan kehendak, mewarnai proses tawar-menawar di 'pasar' demokrasi dengan bayang-bayang kekerasan!" tegas suami. "Gejala itu hanya bisa dihilangkan jika setiap kita menghormati impian orang lain di antara sesama kita! Seranjang saja impian berbeda, bagaimana memaksa orang lain harus sama impian dengan kita! Mustahil!" ***
============================================================
Pembaca budiman: Buras ini pernah dimuat dalam Lampung Post edisi 3 Juni 2006. Artikel buras terkini akan kami sajikan setelah kondisi kesehatan Bapak H. Bambang Eka Wijaya pulih kembali.
===================================================
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Sabtu, 29 Januari 2011
Seranjang Beda Impian!
Label:
impian
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar