"ENAK jadi raja di negeri monarki absolut, ya? Setiap ucapan raja dicatat sebagai hukum!" ujar baginda. "Kenapa moyangku dulu memilih monarki demokrasi parlementer, dengan pemerintahan dijalankan perdana menteri dan parlemen yang memilihnya?"
"Karena zaman berubah dengan hadirnya prinsip fox populi fox dei—
suara rakyat suara Tuhan!" jawab Jonaha. "Sejak itu raja selaku kepala negara juga harus menaati konstitusi! Sistem Sabdo Pandito Ratu, setiap ucapan raja sebagai hukum, tak lagi berlaku!"
"Tapi raja kan tetap kepala negara, sedang menurut pemikir, hukum itu bukan semata undang-undang yang tertulis, tapi apa yang dilakukan para pejabat negara dan pemerintahan, dari adipati, polisi, jaksa, hakim sampai para penggawa!" tukas baginda. "Dengan begitu malahan, bukan hanya ucapan atau tindakan raja yang menjadi hukum, tapi juga tindakan para penggawa!"
"Tapi secara formal hukum itu tetap yang dihasilkan suatu majelis, seperti parlemen pembuat undang-undang atau sidang pengadilan yang memutus perkara!" sambut Jonaha.
"Bahkan majelis hakim di sidang pengadilan bersifat independen, bebas dari intervensi dan pengaruh orang lain, tanpa kecuali dari seorang raja sekalipun! Lantas peraturan yang dibuat dan dijalankan jajaran pemerintahan juga harus merupakan turunan dari hukum yang dibuat di parlemen, hierarkinya sampai tingkat bawah; seorang adipati harus menjalankan peraturan daerah yang dibuat parlemen lokal! Menyimpang atau keluar dari itu, sang adipati bisa dituntut di muka hakim!"
"Tapi kenyataannya sampai sekarang pun apa yang kuucapkan tetap seperti hukum, dianggap itulah yang benar!" tutur baginda. "Demikian pula ucapan para pejabat dan penggawa!"
"Kebiasaan masyarakat seperti itulah yang membuat hukum di negeri kita terkesan kacau!" timpal Jonaha. "Karena setiap pejabat, bahkan setiap orang atau kelompok, merasa hanya ucapannya yang paling benar! Karena semua pihak merasa paling benar itu, rakyat jadi bingung, yang mana sebenarnya hukum itu! Pernyataan si A atau si B? Ini berpengaruh negatif pada kesadaran hukum rakyat karena rakyat jadi bingung dan tak bisa memastikan lagi hukum yang sesungguhnya itu seperti apa?"
"Kondisi kesadaran hukum rakyat seperti itu memprihatinkan!" tukas baginda. "Rakyat bisa menjadi korban ketidakpastian hukum, yang dianggapnya benar dan dia lakukan ternyata malah salah dan membuat dirinya masuk bui! Berarti perlu suatu upaya untuk menegakkan kepastian hukum yang mudah dipahami rakyat kebanyakan, sehingga tanpa kebingungan pula rakyat menaatinya!"
"Upaya itu harus bermula dari Baginda sendiri!" sambut Jonaha. "Cukup dengan menjaga setiap ucapan dan tindakan Baginda tak membingungkan rakyat!"
"Bagaimana kalau rajanya juga bingung, kurang jelas harus bertindak seperti apa untuk menjalankan hukum!" entak baginda.
"Pasti rakyat jadi lebih bingung lagi!" timpal Jonaha. ***
-----------------------------------------------
Pembaca Budiman: Buras ini pernah dimuat dalam Lampung Post edisi Minggu, 17 Juli 2005. Kami akan kembali menampilkan buras terkini setelah kondisi kesehatan Bapak Bambang Eka Wijaya kembali pulih.
---------------------------------------------------------
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Rabu, 26 Januari 2011
Kepastian Hukum!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar