"PESAN 165 lewat SMS dari ESQ—emotional spiritual quotient—Selasa subuh (18-1) berbunyi, 'Tahukah Anda siapa musuh paling berbahaya? Takut dan ragu-ragu! Keduanya hanya akan membuat kita berdiam diri meski kesempatan terbentang di depan mata!" ujar Umar. "Mungkin cuma kebetulan pesan rutin ESQ—yang juga gerakan moral membangun 'Indonesia Emas'—itu terkirim setelah dini harinya pertemuan Presiden SBY dan tokoh lintas agama di istana terberita mubazir!"
"Tapi pesan itu membuat orang menebak-nebak, siapa yang takut dan ragu sehingga kesempatan emas memadu dua kekuatan—gerakan moral dan kekuasaan—sebagai sinergi andalan mengatasi masalah bangsa jadi sia-sia, bahkan mendorong perbedaan sikap-pandang kedua kutub jadi makin tajam!" sambut Amir. "Padahal, kehancuran moralitas dewasa ini merupakan masalah paling serius dalam birokrasi kekuasaan—terutama terkait praktek politik, hukum dan sosial-ekonomi!"
"Kubu kekuasaan resisten terhadap kritik tokoh lintas agama karena dikemas sebagai kebohongan rezim!" timpal Umar. "Banyak pihak juga menilai terlalu vulgar pemakaian istilah kebohongan oleh tokoh lintas agama yang terhormat itu!"
"Penilaian tidak tepat istilah kebohongan sebagai kemasan kritik itu hanya karena orang tidak tahu, kritik dengan entakan keras tokoh lintas agama itu tidak ujug-ujug!" tegas Amir. "Secara berkala selama bertahun-tahun tokoh lintas agama menyampaikan kritik konstruktif dengan irama merdu, tapi tak dilirik penguasa dengan sebelah mata pun! Salah satu kritik tokoh lintas agama dilantunkan dari Gedung Wanita Kota Metro, Lampung, beberapa tahun lalu—waktu itu dari Katolik hadir langsung Kardinal! Seiring ketakpedulian penguasa yang berkepanjangan terhadap kritik tokoh lintas agama berkemasan patut itu, kerusakan moral bangsa utamanya dalam birokrasi kekuasaan semakin fatal! Tak ada pilihan lain, buruknya realitas sudah tak bisa ditoleransi lagi, kemasan kritik pun dibuat kontras dengan bunyi bisa mengorek telinga penguasa!"
"Dari situ terlihat, jika pada dialog lanjutan kubu kekuasaan tetap kontraproduktif atau bahkan membeku jadi status quo, justru menciptakan momentum bagi gerakan moral untuk tambah relevan sebagai poros gerakan perubahan memperbaiki moralitas bangsa!" timpal Umar. "Dalam gerakan moral menghadapi kekuasaan status quo, massa kaum muda yang idealismenya masih murni seperti 1966 dan 1998 biasanya tampil di depan mengadopsi gagasan perubahan yang telah mengkristal sebagai energi perjuangan! Ini belum tentu terjadi, tapi bisa jadi!" ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Rabu, 19 Januari 2011
Gerakan Moral Vs Kekuasaan!
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar