"MASA hukumanmu tinggal beberapa hari lagi kok wajahmu malah murung?" tanya seorang narapidana—napi—ke teman satu selnya. "Kau pasti cemas menghadapi kenyataan di luar sana! Sebagai residivis susah cari kerja, pandangan orang selalu terasa mencibirmu, dan seterusnya!"
"Memang, aku berpikir lebih baik kalau aku lebih lama di dalam sini!" sambut teman.
"Tapi bukan itu alasannya!"
"Lantas, apa alasanmu?" kejar napi.
"Kalau penjara selama ini cuma menjadi tempat meningkatkan kualitas penjahat, maling ayam keluar jadi maling kambing, dalam waktu dekat terjadi perubahan! Penjara akan seperti kampus, tempat belajar ilmu pengetahuan sesungguhnya dari para dosen bergelar profesor, doktor maupun praktisi kelas atas seperti direktur bank besar!" tutur teman.
"Ah, kau berlebihan mengira orang-orang terhormat itu akan sampai ke tempat seperti ini!" sambut napi.
"Kenapa tidak, kalau pengadilan memvonis mereka bersalah dan kena hukuman penjara, pasti mereka masuk kemari!" entak teman. "Bukankah semua warga negara sama di muka hukum, tak peduli profesor, direktur bank atau menteri sekalipun!"
"Itu menurut teori!" timpal napi. "Berapa banyak direktur bahkan pemilik bank yang divonis hukuman penjara, tak ada di dalam sini, malah santai menikmati hasil jarahannya di luar negeri!"
"Saat kasusnya diproses mereka jatuh sakit, lantas harus berobat ke luar negeri!" ujar napi. "Sejak itu mereka tak pernah kembali, hingga vonisnya juga dijatuhkan secara in absensia!"
"Sekarang lain!" timpal teman. "Begitu kasusnya mulai diproses, mereka dicekal tak boleh pergi ke luar negeri!"
"Berobat di dalam negeri juga bisa!" sambut napi. "Pokoknya sampai perkaranya diputus Mahkamah Agung, mereka bisa tak menjalani hukuman dengan alasan berobat! Dalam masa itu pula, salah satu tingkat pengadilan akhirnya membebaskannya!"
"Maksudmu pasti, banyak jalan menghindari penjara!" tukas teman.
"Terutama dalam kasus korupsi kelas atas!" sambut napi. "Kalau korupsi kelas bawah, tak beda dengan maling-maling kecil! Sejak awal sudah masuk, baru keluar setelah masa hukuman selesai dijalani!"
"Kata teman satu selku sebelum kau, Solon yang hidup sebelum Socrates pernah mengatakan hukum itu seperti sarang laba-laba, hanya bisa menjerat yang lemah!"
"Meskipun cuma sarang laba-laba, kalau itu laba-laba tarantula, makhluk kuat juga akan terkulai kena sengatannya!" timpal teman. "Dan hukum itu memang tarantula karena bisa menyengat monster-monster dalam masyakarat dengan hukuman mati!"
"Solon bicara soal jaringnya!" tegas napi. "Dan masalahnya selalu, jaringnya itu!" ***
-------------
Pembaca budiman: Buras ini pernah dimuat dalam Lampung Post edisi 23 Mei 2005. Artikel terkini akan kami sajikan setelah kondisi kesehatan Bapak H. Bambang Eka Wijaya kembali pulih.
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
Senin, 31 Januari 2011
Dialog Narapidana!
Label:
Narapidana
Langganan:
Posting Komentar
0 komentar:
Posting Komentar