SEORANG abang melamar gadis tetangga satu bedeng untuk adiknya. "Sebagai tanda jadi, atau peningset, kami telah siapkan uang tunai delapan ratus ribu!" ujarnya ke ayah si gadis.
"Saya sambut baik kedatangan Anda, tapi soal lamaran adik Anda pada putriku, mohon pertimbangkan tanda jadi itu, jangan sampai mengesankan putriku perempuan murahan!" sambut ayah si gadis.
Mendapat penolakan halus terkait kecilnya nilai tanda jadi, si abang bahas dengan adiknya.
"Mungkin karena jumlahnya cuma sekian ratus ribu, kalau nanti dalam acara seserahan pakai pengeras suara disebutkan di muka umum rasa harga diri atau martabat ayahnya bisa merasa direndahkan!" tebak adik. "Tapi dari mana kita dapat uang dengan sebutan juta? Itu saja lama aku menabungnya! Kalau lambat melamarnya, gadis itu keburu dilamar orang lain!"
"Sudah! Kau tenang saja! Besok aku datang lagi melamar untukmu!" tegas abang. Dan esoknya abang berkata di depan ayah si gadis, "Sebagai tanda jadi atau peningset kami siapkan uang tunai setengah juta tambah tiga ratus ribu!"
"Alhamdulillah!" sambut si ayah.
"Meski demikian, soal diterima atau tidaknya lamaran adik Anda tergantung pada putriku! Karena dia yang akan menjalani perkawinannya seumur hidup, bukan aku! Karena itu, aku tak bisa memaksanya!"
Saat putusan itu disampaikan, si adik bersorak!
"Pasti dia menerima lamaranku, kami pacaran sudah lebih dua tahun!" seru adik. "Terpenting tebakanku tepat, istilah juta merupakan idiom yang mengacu sebagai standar martabat kaum jelata, termasuk warga bedeng kita!"
"Tapi itu bukan cerminan materialistis!" tegas Abang. "Terbukti nilai uang sebenarnya sama, tapi dilengkapi dengan idiom itu mengubah sikapnya! Idiom-idiom yang bisa mengangkat martabat kaum jelata itulah yang digunakan politisi, hingga kaum jelata rela menyerahkan nasibnya selama lima tahun kepada politisi tertentu, ditukar sekantong sembako!"
"Itu penyebab kaum jelata sengsara berlarut-larut karena janji memperjuangkan perbaikan nasib mereka dari para politisi yang diberi tanda jadi atau peningset sekantong sembako itu terbukti berujung dusta!" tukas adik. "Tapi kaum jelata amat bijaksana, maafnya seluas samudera! Dengan memaafkan, martabat kaum jelata selalu lebih tinggi dari pendusta! Soal dusta politisi atas janjinya, biarkan politisi sendiri menyelesaikan dengan Khalik-Nya!" ***
0 komentar:
Posting Komentar