"PR—pekerjaan rumah—yang sulit menanti pemerintahan baru hasil Pilpres 2014, dari perbaikan kebijakan subsidi, memacu laju membangun infrastruktur, pengentasan kemiskinan dan lainnya!" ujar Umar. "Tapi kata Direktur Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A. Chaves, risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi belakangan ini justru meningkat!" (detik-Finance, 21/7)
"Perlambatan pertumbuhan penerimaan dan peningkatan belanja subsidi energi, menurut Chaves, akan semakin membatasi pengeluaran yang penting untuk pembangunan seperti infrastruktur, jaminan sosial dan kesehatan," timpal Amir. "Para penentu kebijakan perlu menarik pilihan-pilihan sulit untuk mendorong pertumbuhan yang berkelanjutan dan membalikkan laju pengentasan kemiskinan!"
"Selain kesulitan oleh faktor-faktor dalam negeri, tukas Chaves, pemerintahan baru akan menghadapi lingkungan global yang terus berubah seiring meredanya faktor-faktor pendorong pertumbuhan ekonomi selama dekade lalu dan rendahnya pendanaan global!" tukas Umar. "Tanpa disertai langkah-langkah kebijakan dan pertumbuhan produktivitas, risiko-risiko penurunan yang lebih struktural akan meningkat."
"Konkretnya, subsidi BBM di APBNP 2014 Rp246,5 triliun, dari pagu awal Rp210,7 triliun, ditambah subsidi listrik Rp103,8 triliun, dari pagu awal Rp71,4 triliun!" (Kompas.com, 13/6) tukas Amir. "Subsidi energi 2014 jadi Rp350,3 triliun! Tahun 2015, tanpa kebijakan jitu pemerintah baru, bisa tembus Rp400 triliun!"
"Selama ini, ketika sulit mengatasi subsidi hingga penyesuaian harga BBM dan tarif listrik sejak 2008 baru bisa dilakukan pada 2013, kekurangan dana subsidi selalu ditutup dengan lelang surat utang negara (SUN)," timpal Umar. "Untuk 2015 ke depan kebijakan serupa tak bijaksana lagi karena kewajiban bayar utang dari APBN malah sudah lebih besar dari subsidi energi itu sendiri! Semester I 2014 saja kewajiban bayar utang dari APBN sebesar Rp223,104 triliun, 60,44% dari 2014, jadi 2014 telah mendekati Rp400 triliun!" "Total subsidi energi dan bayar utang 2014 jadi Rp750 triliun—dekat pendapatan pajak sekitar Rp1.000 triliun/tahun!" tegas Amir. "Kebijakan memangkas subsidi cuma dengan sosialisasi dan BLT seperti rezim sebelumnya pun tak memadai lagi, hingga kedua sisinya—subsidi dan bayar utang—terus membengkak!" tegas Amir. "Artinya, kebijakan pemerintah baru harus beyond dengan sesuatu yang belum terpikirkan oleh pemerintah sekarang!" ***
"Selama ini, ketika sulit mengatasi subsidi hingga penyesuaian harga BBM dan tarif listrik sejak 2008 baru bisa dilakukan pada 2013, kekurangan dana subsidi selalu ditutup dengan lelang surat utang negara (SUN)," timpal Umar. "Untuk 2015 ke depan kebijakan serupa tak bijaksana lagi karena kewajiban bayar utang dari APBN malah sudah lebih besar dari subsidi energi itu sendiri! Semester I 2014 saja kewajiban bayar utang dari APBN sebesar Rp223,104 triliun, 60,44% dari 2014, jadi 2014 telah mendekati Rp400 triliun!" "Total subsidi energi dan bayar utang 2014 jadi Rp750 triliun—dekat pendapatan pajak sekitar Rp1.000 triliun/tahun!" tegas Amir. "Kebijakan memangkas subsidi cuma dengan sosialisasi dan BLT seperti rezim sebelumnya pun tak memadai lagi, hingga kedua sisinya—subsidi dan bayar utang—terus membengkak!" tegas Amir. "Artinya, kebijakan pemerintah baru harus beyond dengan sesuatu yang belum terpikirkan oleh pemerintah sekarang!" ***
0 komentar:
Posting Komentar