PERKIRAAN akhir pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat kuartal ketiga direvisi naik ke laju tahunan sebesar 5%, tercepat dalam 11 tahun dan mudah melampaui ekspektasi pertumbuhan 4,3%. Demikian MetroTV-News.com mengutip Reuters, Rabu (24/12) pagi.
Hasil rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) penentu kebijakan Bank Sentral AS, Jumat (19/12), yang dirilis Selasa (23/12) pagi memicu reli luas di pasar saham Wall Street hingga Indeks Dow Jones Industri untuk pertama kali dalam sejarah tembus di atas 18.000, ditutup pada 18.024,11, sempat menyentuh 18,069,22 atau naik 175% dari 12 tahun terakhir.
Kuatnya pertumbuhan ekonomi AS sudah terasa sedotannya terhadap dolar di pasar Obligasi Indonesia, yang menurut data Kementerian Keuangan RI, pada Desember ini hingga tanggal 11 saja telah setara Rp10,09 triliun dolar AS pulang kampung! (Kompas.com, 15/12) Itu sedotan pada ekspektasi tumbuh 4,3%.
Setelah ekspektasi itu dilampaui, bisa diduga 2015 akan terjadi reli lebih besar dolar pulang kampung, tanpa kecuali dari bursa efek.
Kejutan bisa berlanjut oleh membaiknya kondisi ekonomi AS ke depan dengan terus turunnya harga BBM dunia, yang pada tutup pasar Jumat (19/12) minyak Brent pada 62,50 dolar AS per barel.
Didukung stok melimpah di AS dengan produksi lokalnya naik dua kali lipat dari 2005, ekonomi AS bakal lebih mantap.
Konon lagi, OPEC tak mau menurunkan total produksinya dengan Arab Saudi saja memompa 11,5 juta barel/hari.
Demikian pula NOPEC yang dituding Arab Saudi terlalu banyak membanjiri pasar minyak, seperti Rusia memompa 10,5 juta barel/hari untuk mengatasi krisis rubelnya. Harga minyak pun akan terus turun.
Perbaikan ekonomi AS tak harus disambut panik karena dolar dan investasi jangka pendek hengkang dari pasar keuangan Indonesia.
Tetapi, justru layak dirayakan sebagai peluang meningkatkan ekspor! Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan lebih sehat ditopang ekspor dan bisnis riil pendukungnya, ketimbang cuma dibuai investasi jangka pendek yang membuat kita harus membayar gain dan dividen!
Untuk itu, seharusnya pemerintah tampil memprakarsai peralihan kekuatan dana bank domestik dari fokusnya membiayai konsumsi, jadi fokus ke sektor produksi pengolahan guna menaikkan nilai tambah ekspor dengan produk manufaktur.
Tak layak lagi, pemerintah terlalu asyik menikmati pertumbuhan lewat sektor konsumsi, hingga industri manufaktur menurut BPS malah berantakan—dari 28% PDB pada 2003 jadi 23% PDB pada 2013! ***
0 komentar:
Posting Komentar