KONDISI kesenjangan antara si kaya dan si miskin di Indonesia kritis, dengan indeks rasio koefisien gini 0,43. Itu sudah dalam situasi berbahaya yang bisa meledak, kata Menteri PPN/Kepala Bappenas Andrinof Chaniago, Sabtu (6/12).
Lebih-lebih di banyak daerah, rasio gini lebih tinggi dari rata-rata nasional, 0,44 dan 0,45.
Kondisi itu berbahaya ketika bertemu dengan faktor-faktor lain yang bisa memengaruhi terjadinya gejolak. "Ini bahaya. Bisa meledak!" ujar Andrinof. (Kompas.com, 8/12)
Rasio koefisien gini merupakan instrumen statistika yang dirumuskan ahli statistika sekaligus ahli sosiologi Italia, Corrado Gini, pada 1912 dalam tulisan ilmiahnya, Variabilitas dan Mutabilitas.
Indeksnya memakai angka dari 0 sampai 1, pada indeks 0,5 ke atas kondisinya sudah buruk dalam arti tak bisa ditoleransi lagi! Dan kondisi rasio gini di Indonesia sudah kian mendekati kondisi ketimpangan sosial yang tak boleh ditoleransi itu!
Salah satu penyebab semakin tajamnya kesenjangan adalah perumusan rencana pembangunan yang pertumbuhannya lebih dinikmati kalangan kaya, kelas menengah ke atas, dengan rembesannya menetes kecil sekali ke kalangan warga kelas bawah yang miskin. Subsidi BBM, misalnya, hanya dinikmati para pemilik kendaraan beermotor yang membakar ratusan triliun APBN di kemacetan jalanan, sedang si miskin cuma kebagian udara kotor tercemar asap knalpotnya!
Jadi, keadilan sosial tak cukup hanya dalam slogan seperti selama ini, tapi harus diwujudkan lewat strategi pembangunan yang benar-benar adil! Artinya, norma-norma perilaku yang terumus dalam falsafah kehidupan bernegara-bangsa, harus diimplementasikan dengan benar dalam realitas kehidupan oleh pemerintah dan seluruh rakyat.
Chaniago juga mengatakan bangsa yang maju bukan hanya bangsa sehat, melainkan juga mengamalkan norma dalam perilakunya. Tanda-tandanya, konflik yang rendah, tidak merusak kepentingan umum.
Kesenjangan kaya miskin kian melebar karena pemerintah dan warga terlalu kagum pada norma dan menjadikannya sebatas slogan, tidak diimplementasikan dalam tugas dan perilakunya! Akibatnya, politikus hanya mengutamakan meraih kekuasaan dengan melupakan kewajiban fungsionalnya mewujudkan kedaulatan dan kesejahteraan rakyat!
Pengusaha cuma cari untung dengan melupakan hak-hak orang lain, menguras sumber daya alam! Rakyat cuma kebagian bencana akibat kerusakan alamnya! ***
0 komentar:
Posting Komentar