PRESIDEN Joko Widodo menekankan agar aparatur sipil negara mengubah mental birokrat priyayi penguasa menjadi pelayan bagi mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Amanat itu disampaikan Presiden pada acara hari ulang tahun ke-43 Korps Pegawai RI (Korpri) di Monas, Senin (1/12).
Pada acara itu dicanangkan Gerakan Nasional Revolusi Mental Aparatur Sipil Negara.
Birokrasi atau aparatur negara yang wajib melayani rakyat itu berlaku dalam sistem demokrasi—pemerintahan oleh rakyat. Karena, dalam demokrasi itu secara prinsip rakyat yang memerintah, aparatur negara harus melayani tuannya, dalam hal ini rakyat.
Prinsip itu ternyata masih asing bagi aparatur negeri kita yang secara historis mewarisi tradisi birokrasi feodal di bawah raja-raja lokal yang diperkuat penjajah Belanda selama 350 tahun! Dalam sistem feodal, birokrasi atau aparat penguasa—mulai demang (lurah) harus dilayani rakyat!
Tanpa digaji (kerja rodi) rakyat mengerjakan tanah bengkok demang. Selain itu, rakyat membayar pajak atas segala hasil buminya!
Semua hasil dari memeras rakyat itu, oleh demang disetorkan sebagai upeti ke pejabat atasannya—wedana.
Wedana melanjutkan upeti itu ke bupati. Dan seterusnya, sampai ke penguasa tertinggi. Tradisi yang berakar dalam budaya birokrat priyayi penguasa itu sukar diakhiri sampai era demokrasi! Mental birokrat priyayi penguasa minta dilayani bahkan dengan paksaan, siapa yang tak setor upeti dicopot dari jabatannya!
Pejabat bawahan membayar upeti itu dengan menekan bawahan untuk memeras rakyat lewat aneka pungli, atau korupsi dana proyek untuk rakyat! Akibatnya, proyek bekualitas rendah, seperti jalan yang cepat hancur lagi.
Celakanya, akibat pemilihan kepala daerah dilakukan lewat sewa perahu partai amat mahal, dengan penggalangan pemilih berbasis modal, setelah terpilih kepala daerah harus mengembalikan modal! Tak ayal, sistem upeti lama itu berjalan lagi.
Realitas kekinian itulah yang jadi sasaran revolusi mental aparatur sipil negara di daerah.
Jelas, aparatur sipil itu sendiri akan meloncat kegirangan jika bisa bebas dari kewajiban menyetor upeti, apalagi yang terkait pencopotan dari jabatan! Tapi, untuk itu revolusi mental harus bisa mengakhiri sistem politik yang membebani kepala daerah kewajiban mengembalikan modal pemilukada!
Tanpa kemampuan mengubah sistem politik tersebut, justru revolusinya yang mental—terpelanting tanpa mengubah sikap aparatur sipil negara! ***
0 komentar:
Posting Komentar