USUL moratorium UN dari Mendikbud Muhadjir Effendy ditolak rapat kabinet terbatas, Senin (19/12/2016). Muhadjir menerima keputusan rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla tersebut.
Keputusan itu didasarkan pada laporan survei Program for International Student Assessment (PISA) oleh Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yang menunjukkan pendidikan di Indonesia mengalami kenaikan skor. Survei menunjukkan kualitas pendidikan di Indonesia setiap tahun meningkat tajam. Peningkatan kualitas ini terlihat dari tahun 2003 hingga 2016.
Kenaikan skor itu terjadi baik di bidang sains, membaca, matematika. "Kelihatan sekali melompat tinggi, peningkatan yang cukup tajam," kata Jokowi saat memimpin rapat kabinet terbatas. (Kompas.com, 19/12/2016)
Jika tren ini berlanjut, ujar Jokowi, diperkirakan tahun 2030 pendidikan di Indonesia akan setara dengan negara-negara lainnya yang tergabung dalam OECD.
"Inilah yang saya kira perlu dipertimbangkan oleh Mendikbud, jangan sampai, kalau kita lihat di negara-negara lain justru mengalami penurunan skor. Tapi di Indonesia justru skornya naik," tegas Jokowi.
Guna memperbaiki kualitas UN, Mendikbud mengaku akan turut melibatkan guru-guru dalam pembuatan soal UN di bawah kendali Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Sekretaris Kabinet Pramono Anung usai rapat menyebut hasil survei PISA, "Memperlihatkan bahwa sebenarnya pendidikan kita sudah on the right track." Oleh karena itu, UN akan tetap digelar seperti biasa. Meski, pemerintah akan melakukan sejumlah langkah penyempurnaan agar UN dapat benar-benar menjadi pendongkrak intelektualitas murid.
Pertama, pemerintah terus mendorong perbaikan kualitas guru. "Guru yang sudah disertifikasi tentunya ditingkatkan dari waktu ke waktu kemampuannya sehingga dengan demikian akan ada evaluasi kinerja guru," tutur Pramono. Kedua, melalui Kemendikbud juga akan meningkatkan kisi-kisi UN.
Semula, Mendikbud mengusulkan moratorium UN untuk memenuhi putusan MA 2009, simpul dari keresahan terhadap ketimpangan dalam pendidikan nasional.
Itu tecermin di amar putusan MA, pemerintah diperintahkan meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi di seluruh Indonesia.
Namun, alternatif yang lebih baik gagal dihadirkan. Datang pula justifikasi lembaga internasional. Bagi bangsa xenolatri—gandrung yang serbaasing—meski oleh hukum divonis buruk, aduhai juga. ***
Kenaikan skor itu terjadi baik di bidang sains, membaca, matematika. "Kelihatan sekali melompat tinggi, peningkatan yang cukup tajam," kata Jokowi saat memimpin rapat kabinet terbatas. (Kompas.com, 19/12/2016)
Jika tren ini berlanjut, ujar Jokowi, diperkirakan tahun 2030 pendidikan di Indonesia akan setara dengan negara-negara lainnya yang tergabung dalam OECD.
"Inilah yang saya kira perlu dipertimbangkan oleh Mendikbud, jangan sampai, kalau kita lihat di negara-negara lain justru mengalami penurunan skor. Tapi di Indonesia justru skornya naik," tegas Jokowi.
Guna memperbaiki kualitas UN, Mendikbud mengaku akan turut melibatkan guru-guru dalam pembuatan soal UN di bawah kendali Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP).
Sekretaris Kabinet Pramono Anung usai rapat menyebut hasil survei PISA, "Memperlihatkan bahwa sebenarnya pendidikan kita sudah on the right track." Oleh karena itu, UN akan tetap digelar seperti biasa. Meski, pemerintah akan melakukan sejumlah langkah penyempurnaan agar UN dapat benar-benar menjadi pendongkrak intelektualitas murid.
Pertama, pemerintah terus mendorong perbaikan kualitas guru. "Guru yang sudah disertifikasi tentunya ditingkatkan dari waktu ke waktu kemampuannya sehingga dengan demikian akan ada evaluasi kinerja guru," tutur Pramono. Kedua, melalui Kemendikbud juga akan meningkatkan kisi-kisi UN.
Semula, Mendikbud mengusulkan moratorium UN untuk memenuhi putusan MA 2009, simpul dari keresahan terhadap ketimpangan dalam pendidikan nasional.
Itu tecermin di amar putusan MA, pemerintah diperintahkan meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, serta akses informasi di seluruh Indonesia.
Namun, alternatif yang lebih baik gagal dihadirkan. Datang pula justifikasi lembaga internasional. Bagi bangsa xenolatri—gandrung yang serbaasing—meski oleh hukum divonis buruk, aduhai juga. ***
0 komentar:
Posting Komentar