RAMALAN Mpu Sedah, ahli nujum di Daha masa Raja Jayabaya, "Sebuah revolusi di Pulau Jawa akan timbul dipimpin oleh orang yang berkulit kuning dan akan memperoleh kemenangan..." menyulut refleks jutaan orang mengikuti aksi di Ibu Kota ketika kredibilitas hukum diragukan karena penegak hukum dinilai memberi perlakuan istimewa pada orang berkulit kuning.
Ramalan itu sebenarnya sudah terbukti ketika Raden Patah yang berkulit kuning menjatuhkan penguasa Majapahit. Selain berdirinya Kerajaan Demak, episode ini berakhir dengan terwujudnya ramalan Mpu Sedah, berkuasanya seorang Tionghoa-Jawa bernama Mas Garendi di Kartasura. (Lihat, Tan Malaka, "Aksi Massa", 1926. Teplok Press, 2000)
Rupanya anak-cucu warga Majapahit dari Madagaskar hingga ufuk timur Nusantara mencurigai penegak hukum pilih kasih dengan tidak menahan tersangka berkulit kuning itu, sebagai bagian skenario besar untuk merebut ulang Majapahit oleh pihak seperti ramalan Mpu Sedah. Tuntutan agar hukum ditegakkan dengan adil pun menjadi dasar protes mereka untuk mencegah ramalan itu terwujud dengan unjuk massa amat besar.
Aksi massa amat besar menuntut penegak hukum bertindak adil itu, selain aktualisasi kekhawartiran efek ramalan Mpu Sedah, juga ekspresi keraguan terhadap kredibilitas hukum. Mem-pressure proses hukum dengan unjuk massa jutaan orang, tentu punya konsekuensi memengaruhi sistem hukum utamanya integritas pengadilan.
Apalagi ancaman revolusi diteriakkan jika putusan pengadilan nanti tidak sesuai dengan keinginan massa. Jelas, majelis hakim telah mendapat tekanan berat sebelum bersidang. Pertimbangan nurani hakim bisa terganggu kejernihannya dalam memutus perkara. Akibatnya lagi-lagi kredibilitas hukum jadi korban.
Namun, melorotnya kredibilitas hukum bukan hanya akibat praktek hukum di hilir--dari proses di kepolisian, kejaksaaan, hingga pengadilan--yang cenderung masih rentan terimbas interaksi sosio-politik, ekonomi, dan budaya masyarakatnya. Tapi cukup signifikan pengaruhnya dalam menurunkan kredibilitas hukum adalah di level pembuat UU, DPR dan pemerintah, yang acap membuat hukum demi keuntungan kelompok kepentinganya semata.
Contohnya UU MD3 dibuat menguntungkan koalisi oposan yang sesaat mayoritas di parlemen, sehingga partai pemenang pemilu tak dapat kursi ketua DPR. Terakhir RUU yang mau mengubah sistem pemilu terbuka jadi sistem terbuka tertutup.
Istilah prinsipnya saja kacau, kredibilitas hukum pun melorot terus. ***
Rupanya anak-cucu warga Majapahit dari Madagaskar hingga ufuk timur Nusantara mencurigai penegak hukum pilih kasih dengan tidak menahan tersangka berkulit kuning itu, sebagai bagian skenario besar untuk merebut ulang Majapahit oleh pihak seperti ramalan Mpu Sedah. Tuntutan agar hukum ditegakkan dengan adil pun menjadi dasar protes mereka untuk mencegah ramalan itu terwujud dengan unjuk massa amat besar.
Aksi massa amat besar menuntut penegak hukum bertindak adil itu, selain aktualisasi kekhawartiran efek ramalan Mpu Sedah, juga ekspresi keraguan terhadap kredibilitas hukum. Mem-pressure proses hukum dengan unjuk massa jutaan orang, tentu punya konsekuensi memengaruhi sistem hukum utamanya integritas pengadilan.
Apalagi ancaman revolusi diteriakkan jika putusan pengadilan nanti tidak sesuai dengan keinginan massa. Jelas, majelis hakim telah mendapat tekanan berat sebelum bersidang. Pertimbangan nurani hakim bisa terganggu kejernihannya dalam memutus perkara. Akibatnya lagi-lagi kredibilitas hukum jadi korban.
Namun, melorotnya kredibilitas hukum bukan hanya akibat praktek hukum di hilir--dari proses di kepolisian, kejaksaaan, hingga pengadilan--yang cenderung masih rentan terimbas interaksi sosio-politik, ekonomi, dan budaya masyarakatnya. Tapi cukup signifikan pengaruhnya dalam menurunkan kredibilitas hukum adalah di level pembuat UU, DPR dan pemerintah, yang acap membuat hukum demi keuntungan kelompok kepentinganya semata.
Contohnya UU MD3 dibuat menguntungkan koalisi oposan yang sesaat mayoritas di parlemen, sehingga partai pemenang pemilu tak dapat kursi ketua DPR. Terakhir RUU yang mau mengubah sistem pemilu terbuka jadi sistem terbuka tertutup.
Istilah prinsipnya saja kacau, kredibilitas hukum pun melorot terus. ***
0 komentar:
Posting Komentar