DARI Parade Nusantara Bersatu di Lapangan Saburai, Bandar Lampung, Rabu (30/11/2016), yang menyatukan tekad berbagai suku, ras, dan agama untuk tetap bersatu menjaga Nusantara dan NKRI dalam Bhinneka Tunggal Ika, sampai syahdunya doa bersama umat Islam nasional di Monas, Jumat (2/12/2016), tampak dinamika sosial, budaya, dan politik mendewasakan masyarakat dalam berdemokrasi.
Dengan kehidupan yang rukun dan damai semua elemen bangsa begitu, ke depan tidak perlu lagi energi masyarakat banyak yang terbuang percuma akibat tersulut curiga dan salah sangka. Kesediaan untuk dialog dan bermusyawarah menjadi kunci tercapai saling pengertian dan mufakat.
Bahkan, ketika tempo dinamika tinggi, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF MUI) ngotot untuk melakukan Aksi 212 dengan salat jumat di Bundaran HI, sedangkan Kapolri menyebut salat di tengah jalan itu mengganggu kepentingan umum, akhirnya berkat kesediaan dialog tercapai mufakat menjadikan Aksi 212 kegiatan ibadah lebih khusyuk di Monas.
Sejatinya, musyawarah mufakat itu berakar dalam budaya Indonesia. Juga nilai-nilai lain dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jadi hafalan wajib sejak anak-anak di SD.
Sayangnya, nilai-nilai tersebut sebatas hafalan, tidak benar-benar dihayati dan tak mengaktual dalam perilaku sebagai ekspresi berbudaya orangnya. Sementara realitas nilai-nilainya mengaktual di media sosial: saling caci maki, memfitnah, menebar dusta dan kebencian, tidak menghargai orang yang berbeda dengan dirinya, alergi kebhinnekaan, dan lainnya.
Dengan semua realitas itu, Parade Nusantara Bersatu yang digelar di daerah-daerah seantero negeri dan Aksi 212 di Monas diharapkan menjadi kulminasi, semua anomali perilaku menyimpang itu lumer dan cair menjadi nilai-nilai ideal dalam perilaku masyarakat sehingga harmoni kehidupan berbangsa terwujud.
Tentu saja perilaku ideal dan harmoni kehidupan masyarakat itu tidak serta-merta terjadi seusai Parade Nusantara Bersatu dan Aksi 212. Dua hal terpenting untuk mewujudkan itu. Pertama, keteladanan para pemimpin, terutama elite, yang relatif menguasai panggung sehingga setiap gerak-geriknya jadi sorotan publik. Kedua, penegakan hukum yang tegas dan transparan, terutama dalam pengendalian media sosial.
Jika kedua hal itu berjalan efektif, realitas sikap dan perilaku masyarakat diharapkan bisa mencerminkan kedewasaan berdemokrasi. ***
Bahkan, ketika tempo dinamika tinggi, Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF MUI) ngotot untuk melakukan Aksi 212 dengan salat jumat di Bundaran HI, sedangkan Kapolri menyebut salat di tengah jalan itu mengganggu kepentingan umum, akhirnya berkat kesediaan dialog tercapai mufakat menjadikan Aksi 212 kegiatan ibadah lebih khusyuk di Monas.
Sejatinya, musyawarah mufakat itu berakar dalam budaya Indonesia. Juga nilai-nilai lain dalam Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, jadi hafalan wajib sejak anak-anak di SD.
Sayangnya, nilai-nilai tersebut sebatas hafalan, tidak benar-benar dihayati dan tak mengaktual dalam perilaku sebagai ekspresi berbudaya orangnya. Sementara realitas nilai-nilainya mengaktual di media sosial: saling caci maki, memfitnah, menebar dusta dan kebencian, tidak menghargai orang yang berbeda dengan dirinya, alergi kebhinnekaan, dan lainnya.
Dengan semua realitas itu, Parade Nusantara Bersatu yang digelar di daerah-daerah seantero negeri dan Aksi 212 di Monas diharapkan menjadi kulminasi, semua anomali perilaku menyimpang itu lumer dan cair menjadi nilai-nilai ideal dalam perilaku masyarakat sehingga harmoni kehidupan berbangsa terwujud.
Tentu saja perilaku ideal dan harmoni kehidupan masyarakat itu tidak serta-merta terjadi seusai Parade Nusantara Bersatu dan Aksi 212. Dua hal terpenting untuk mewujudkan itu. Pertama, keteladanan para pemimpin, terutama elite, yang relatif menguasai panggung sehingga setiap gerak-geriknya jadi sorotan publik. Kedua, penegakan hukum yang tegas dan transparan, terutama dalam pengendalian media sosial.
Jika kedua hal itu berjalan efektif, realitas sikap dan perilaku masyarakat diharapkan bisa mencerminkan kedewasaan berdemokrasi. ***
0 komentar:
Posting Komentar