MENDIKBUD Muhadjir Effendy mengatakan kajian terbaru soal Moratorium Ujian Nasional (UN) akan kembali disampaikan dalam rapat terbatas (ratas) kabinet Senin (19/12/2016). Dalam kajian terbaru itu, alternatif standardisasi yang disiapkan antara lain ujian sekolah berstandar nasional (USBN).
Ia mengaku siap menerima apa pun keputusan Presiden Joko Widodo jika moratorium UN pada akhirnya ditolak. "Ditunggu saja apa keputusannya," ujar Muhadjir. (Kompas.com, 16/12/2016)
Sekretaris Kabinet Pramono Anung Selasa (13/12/2016) mengatakan saat rapat evaluasi UN masih ada perbedaan pandangan di antara para pejabat yang hadir. Karena itu, Presiden minta Mendikbud mempertimbangkan masukan yang muncul dalam ratas dan menyampaikannya kembali di ratas berikutnya.
Salah satu yang belum setuju moratorium UN karena belum ada alternatif standarisasinya adalah Wapres Jusuf Kalla. "Justru ujian itulah yang membikin standar," ujar Wapres. "Dulu, sejarahnya ujian nasional itu orang lulus dengan angka 3,5 jangan lupa. Kita setiap tahun naik setengah, setengah, supaya mencapai standardisasi."
Namun, menurut Mendikbud, moratorium UN dilakukan untuk memenuhi putusan MA pada 2009. Kini UN tak lagi menentukan kelulusan, tapi lebih berfungsi untuk memetakan kondisi pendidikan. Hasilnya, baru 30% sekolah memenuhi standar nasional.
Menurut Muhadjir, pandangan JK yang ia coba akomodasi adalah standardisasi mengenai kualitas pelajar. Dan USBN alternatif untuk itu.
"Evaluasi nasional nanti diserahkan kepada pemerintah daerah. Kita mau mengembalikan evaluasi sebagai hak dan wewenang guru, baik secara pribadi maupun kolektif. Negara cukup mengawasinya," tegas Muhadjir.
Jadi pendulumnya antara sentralisasi pendidikan sebagai status quo yang enggan berubah, dengan desentralisasi pendidikan implementasi Nawacita yang bersimpul putusan MA, moratorium UN.
Dibanding dengan UN yang menyamakan soal ujian siswa di Menteng Jakarta dengan siswa di pelosok Papua, mungkin USBN dengan varian soal ujian akhir kualitas A, B, dan C, yang disiapkan Kemendikbud (sebagai standar nasional) untuk dipilih oleh sekolah sesuai kemampuan pelajarnya, jelas lebih adil.
Apalagi kalau salah satu kegunaan ijazah dan tanda kelulusan untuk mencari pekerjaan. Alangkah tak adil kalau anak di Papua tak lulus hingga tak memiliki syarat untuk mencari pekerjaan akibat dijebak dengan soal ujian sekelas siswa di Jakarta, yang jauh timpang sarana dan prasarana pendidikannya. ***
Sekretaris Kabinet Pramono Anung Selasa (13/12/2016) mengatakan saat rapat evaluasi UN masih ada perbedaan pandangan di antara para pejabat yang hadir. Karena itu, Presiden minta Mendikbud mempertimbangkan masukan yang muncul dalam ratas dan menyampaikannya kembali di ratas berikutnya.
Salah satu yang belum setuju moratorium UN karena belum ada alternatif standarisasinya adalah Wapres Jusuf Kalla. "Justru ujian itulah yang membikin standar," ujar Wapres. "Dulu, sejarahnya ujian nasional itu orang lulus dengan angka 3,5 jangan lupa. Kita setiap tahun naik setengah, setengah, supaya mencapai standardisasi."
Namun, menurut Mendikbud, moratorium UN dilakukan untuk memenuhi putusan MA pada 2009. Kini UN tak lagi menentukan kelulusan, tapi lebih berfungsi untuk memetakan kondisi pendidikan. Hasilnya, baru 30% sekolah memenuhi standar nasional.
Menurut Muhadjir, pandangan JK yang ia coba akomodasi adalah standardisasi mengenai kualitas pelajar. Dan USBN alternatif untuk itu.
"Evaluasi nasional nanti diserahkan kepada pemerintah daerah. Kita mau mengembalikan evaluasi sebagai hak dan wewenang guru, baik secara pribadi maupun kolektif. Negara cukup mengawasinya," tegas Muhadjir.
Jadi pendulumnya antara sentralisasi pendidikan sebagai status quo yang enggan berubah, dengan desentralisasi pendidikan implementasi Nawacita yang bersimpul putusan MA, moratorium UN.
Dibanding dengan UN yang menyamakan soal ujian siswa di Menteng Jakarta dengan siswa di pelosok Papua, mungkin USBN dengan varian soal ujian akhir kualitas A, B, dan C, yang disiapkan Kemendikbud (sebagai standar nasional) untuk dipilih oleh sekolah sesuai kemampuan pelajarnya, jelas lebih adil.
Apalagi kalau salah satu kegunaan ijazah dan tanda kelulusan untuk mencari pekerjaan. Alangkah tak adil kalau anak di Papua tak lulus hingga tak memiliki syarat untuk mencari pekerjaan akibat dijebak dengan soal ujian sekelas siswa di Jakarta, yang jauh timpang sarana dan prasarana pendidikannya. ***
0 komentar:
Posting Komentar