RAPAT kabinet Rabu (7/12/2016) memutuskan pemerintah masih mengevaluasi moratorium ujian nasional (UN) 2017. "Keputusan tadi adalah Presiden memerintahkan kepada Mendikbud untuk mempelajari lagi dan mengevaluasi. Jadi, soal keputusan mengenai UN, belum ada perubahan," ujar Johan Budi, Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi.
Wapres Jusuf Kalla memperjelas moratorium ditunda lantaran pemerintah belum memiliki alternatif lain untuk meningkatkan mutu dan pemerataan pendidikan. Jika tanpa ujian nasional, pemerintah tak memiliki acuan standar pendidikan di Indonesia.
Tampak, meski desentralisasi pendidikan dengan konsekuensi UN dihapus merupakan implementasi dari Nawacita—sembilan program unggulan pemerintahan Jokowi-JK, realisasinya dilakukan dengan tetap hati-hati dan rasional.
Tanpa adanya alternatif yang lebih unggul sebagai penggantinya, jelas program itu bisa dijalankan semata emosional dengan mengorbankan pendidikan nasional secara semena-mena.
Anies Baswedan yang ikut dalam tim transisi penyusun program Jokowi-JK usai memenangi Pilpres 2014, meski menampung ke dalam Nawacita acuan desentralisasi pendidikan dari pasangan Jokowi-JK, sampai ia dicopot dari jabatan Mendikbud belum menemukan alternatif jitu yang mampu menggantikan UN.
Sama halnya hingga konsep moratorium UN dibahas sidang kabinet paripurna pekan ini, Mendikbud penggantinya juga rupanya belum menemukan alternatif yang sebanding buat menggantikan UN. Itulah alasan utama sidang kabinet menunda moratorium UN. Sebab, kalau dipaksakan, dunia pendidikan bisa bubar jalan.
Artinya, semua pihak tak pantas menuntut moratorium UN tanpa konsep penggantinya yang secara objektif lebih unggul. Setiap sistem punya keunggulan dan kelemahan. Semua yang menuntut moratorium UN sejak beberapa tahun lalu, fasih menuturkan berbagai kelemahan UN. Namun, hingga kini alternatif pengganti yang sebanding secara objektif dan teruji belum ada.
Maksud objektif terutama pelaksanaan program tidak dipaksakan hanya beralas kekuasaan. Penundaan Nawacita dunia pendidikan itu mengisyaratkan penguasa ingin mengutamakan objektivitas programnya.
Demi objektivitas program pengganti UN itu, pencarian alternatifnya tentu tidak semata dierami di Kemendikbud, tetapi dilakukan penggalian pandangan para pakar pendidikan seluruh negeri untuk dirumuskan bersama menjadi sebuah sistem pendidikan nasional terdesentralisasi yang berstandar terpadu. Agaknya, itulah alternatif yang dibutuhkan. ***
Tampak, meski desentralisasi pendidikan dengan konsekuensi UN dihapus merupakan implementasi dari Nawacita—sembilan program unggulan pemerintahan Jokowi-JK, realisasinya dilakukan dengan tetap hati-hati dan rasional.
Tanpa adanya alternatif yang lebih unggul sebagai penggantinya, jelas program itu bisa dijalankan semata emosional dengan mengorbankan pendidikan nasional secara semena-mena.
Anies Baswedan yang ikut dalam tim transisi penyusun program Jokowi-JK usai memenangi Pilpres 2014, meski menampung ke dalam Nawacita acuan desentralisasi pendidikan dari pasangan Jokowi-JK, sampai ia dicopot dari jabatan Mendikbud belum menemukan alternatif jitu yang mampu menggantikan UN.
Sama halnya hingga konsep moratorium UN dibahas sidang kabinet paripurna pekan ini, Mendikbud penggantinya juga rupanya belum menemukan alternatif yang sebanding buat menggantikan UN. Itulah alasan utama sidang kabinet menunda moratorium UN. Sebab, kalau dipaksakan, dunia pendidikan bisa bubar jalan.
Artinya, semua pihak tak pantas menuntut moratorium UN tanpa konsep penggantinya yang secara objektif lebih unggul. Setiap sistem punya keunggulan dan kelemahan. Semua yang menuntut moratorium UN sejak beberapa tahun lalu, fasih menuturkan berbagai kelemahan UN. Namun, hingga kini alternatif pengganti yang sebanding secara objektif dan teruji belum ada.
Maksud objektif terutama pelaksanaan program tidak dipaksakan hanya beralas kekuasaan. Penundaan Nawacita dunia pendidikan itu mengisyaratkan penguasa ingin mengutamakan objektivitas programnya.
Demi objektivitas program pengganti UN itu, pencarian alternatifnya tentu tidak semata dierami di Kemendikbud, tetapi dilakukan penggalian pandangan para pakar pendidikan seluruh negeri untuk dirumuskan bersama menjadi sebuah sistem pendidikan nasional terdesentralisasi yang berstandar terpadu. Agaknya, itulah alternatif yang dibutuhkan. ***
0 komentar:
Posting Komentar