DI Sekolah Rakyat 1950-an, setiap peringatan Maulid Nabi Muhammad saw guru agama selalu bercerita tentang serangan pasukan gajah Raja Abraha dari Yaman ke Ka'bah, di Mekah.
Serangan gajah ke Baitullah itu digagalkan oleh arakan burung Ababil, yang setiap ekor membawa tiga bara batu sebesar kacang di paruh dan kedua cakarnya. Berkat lemparan bara api dari burung Ababil itu, pasukan gajah berlarian kucar-kacir dengan tubuh berlubang-lubang seperti daun dimakan ulat.
Serangan pasukan gajah Abraha ke Ka'bah itu terjadi tahun 570 Masehi, tahun itu pun disebut Tahun Gajah agar mudah mengingatnya, bertepatan dengan tahun lahirnya Nabi Muhammad saw.
Hal menarik dari cerita guru itu kisah yang dilakoni kakek Nabi Muhammad, Abdul Muthalib, waktu itu tokoh kaum Quraisy. Raja Abraha dan ribuan tentaranya tiba dan berkemah tak jauh dari Mekah. Pertama diutusnya ke Mekah Al-Aswad bin Maqsud dengan pasukan berkuda. Kekayaan orang Mekah diserahkan ke pasukan Al-Aswad, termasuk 200 unta milik Abdul Muthalib. Mereka tak berani melawan tentara Abraha yang dikenal terkuat di jazirah Arab masa itu.
Kemudian Abraha mengutus Hanathah Al-Himiyari ke Mekah, untuk menyampaikan maksud Abraha bukan mau memerangi warga Mekah, melainkan hanya mau menghancurkan Ka'bah. Sampai Mekah Hanathah tanya siapa pemimpin kaum Quraisy. Ia dibawa jumpa Abdul Muthalib.
Mendengar maksud Abraha, Abdul Muthalib mengatakan warga Mekah tak punya kekuatan memerangi mereka. Mengenai Ka'bah, Abdul Muthalib berkata, "Rumah ini (Ka'bah) adalah rumah Allah yang suci dan rumah kekasih-Nya, Ibrahim Alaihis Salam. Jika Allah melindungi, itu karena Ka'bah rumah-Nya dan rumah suci-Nya. Jika Allah tidak melindunginya, kami tidak punya kekuatan untuk melindunginya."
Hanathah kemudian berkata ke Abdul Muthalib, "Ayo ikut, aku diperintahkan pulang membawamu." Abdul Muthalib dikawal putranya dan beberapa tokoh Quraisy.
Saat bertemu, Abraha terkejut. Permintaan pertama Abdul Muthalib adalah agar 200 untanya yang dirampas dikembalikan.
"Engkau membicarakan 200 ekor unta yang kurampas, dan meninggalkan rumah (Ka'bah) yang tiada lain agamamu dan agama nenek moyangmu, padahal aku datang untuk menghancurkannya dan engkau sedikit pun tak menyinggungnya?"
Abdul Muthalib menjawab, "Sesungguhnya aku adalah pemilik unta, dan rumah itu mempunyai pemilik yang akan melindunginya."
Abraha berkata, "Ia tak layak menghalangiku."
Timpal Abdul Muthalib, "Itu terserah antara kau dan Dia." ***
Serangan pasukan gajah Abraha ke Ka'bah itu terjadi tahun 570 Masehi, tahun itu pun disebut Tahun Gajah agar mudah mengingatnya, bertepatan dengan tahun lahirnya Nabi Muhammad saw.
Hal menarik dari cerita guru itu kisah yang dilakoni kakek Nabi Muhammad, Abdul Muthalib, waktu itu tokoh kaum Quraisy. Raja Abraha dan ribuan tentaranya tiba dan berkemah tak jauh dari Mekah. Pertama diutusnya ke Mekah Al-Aswad bin Maqsud dengan pasukan berkuda. Kekayaan orang Mekah diserahkan ke pasukan Al-Aswad, termasuk 200 unta milik Abdul Muthalib. Mereka tak berani melawan tentara Abraha yang dikenal terkuat di jazirah Arab masa itu.
Kemudian Abraha mengutus Hanathah Al-Himiyari ke Mekah, untuk menyampaikan maksud Abraha bukan mau memerangi warga Mekah, melainkan hanya mau menghancurkan Ka'bah. Sampai Mekah Hanathah tanya siapa pemimpin kaum Quraisy. Ia dibawa jumpa Abdul Muthalib.
Mendengar maksud Abraha, Abdul Muthalib mengatakan warga Mekah tak punya kekuatan memerangi mereka. Mengenai Ka'bah, Abdul Muthalib berkata, "Rumah ini (Ka'bah) adalah rumah Allah yang suci dan rumah kekasih-Nya, Ibrahim Alaihis Salam. Jika Allah melindungi, itu karena Ka'bah rumah-Nya dan rumah suci-Nya. Jika Allah tidak melindunginya, kami tidak punya kekuatan untuk melindunginya."
Hanathah kemudian berkata ke Abdul Muthalib, "Ayo ikut, aku diperintahkan pulang membawamu." Abdul Muthalib dikawal putranya dan beberapa tokoh Quraisy.
Saat bertemu, Abraha terkejut. Permintaan pertama Abdul Muthalib adalah agar 200 untanya yang dirampas dikembalikan.
"Engkau membicarakan 200 ekor unta yang kurampas, dan meninggalkan rumah (Ka'bah) yang tiada lain agamamu dan agama nenek moyangmu, padahal aku datang untuk menghancurkannya dan engkau sedikit pun tak menyinggungnya?"
Abdul Muthalib menjawab, "Sesungguhnya aku adalah pemilik unta, dan rumah itu mempunyai pemilik yang akan melindunginya."
Abraha berkata, "Ia tak layak menghalangiku."
Timpal Abdul Muthalib, "Itu terserah antara kau dan Dia." ***
0 komentar:
Posting Komentar