LAGI-LAGI nasib buruk yang tragis menimpa, kapal bermuatan lebih 30 warga Rohingya tenggelam di Sungai Naaf yang memisahkan Myanmar dan Bangladesh saat lari dari kejaran kapal cepat tentara Myanmar, Senin (5/12/2016).
Kantor berita UNB, mengutip anggota dewan desa Bangladesh, sedikitnya 31 warga Rohingya di atas perahu saat insiden itu terjadi. Sumber kalangan Rohingya menyebut 13 mayat perempuan dan anak-anak, termasuk yang terkena luka tembakan, terdampar di desanya tepi Sungai Naaf, wilayah Myanmar.
Sekitar 30 ribu warga Rohingya melarikan diri dari rumah mereka sejak kekerasan berdarah Oktober 2016. Militer Myanmar membakar kampung mereka, dengan membunuh dan memerkosa. PBB pekan lalu mengatakan 10 ribu warga Rohingya telah tiba di Bangladesh yang juga mengklaim aparat keamanan telah mengusir pulang ribuan lainnya sebelum masuk. (Kompas.com, 5/12/2016)
Artinya, semakin banyak warga Rohingya yang kocar-kacir dalam pelarian, sedang ribuan pelarian terdahulu nasibnya kebanyakan juga belum jelas. Mereka berserak di berbagai penampungan sementara tempat perahu mereka terdampar di pesisir Indonesia dan Malaysia.
Sesama manusia perahu, nasib mereka tidak "sebaik" manusia perahu dari Vietnam setelah Saigon jatuh ke penguasa komunis 1975. Waktu itu, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan badan urusan pengungsi PBB (UNHCR) menampung ribuan manusia perahu Vietnam dengan membuat barak di Pulau Galang, Kepri. Para pengungsi juga difasilitasi hingga mendapat negara penampung, sampai tak tersisa seorang pun di Pulau Galang.
Pengalaman Indonesia menangani ribuan pelarian dari kekejaman rezim di negerinya itu, layak diamalkan dalam mengatasi nasib buruk warga Rohingya. Pendekatan dan bentuknya mungkin harus disesuaikan pada realitasnya.
Untuk itu, kehadiran Menlu RI Retno Marsudi ke Myanmar memenuhi undangan Aung San Suu Kyi untuk mencari solusi masalah Rohingya harus mengutamakan prinsip-prinsip humanitas Indonesia sebagai bangsa yang berbudi luhur dan agung.
Tujuan akhir solusinya, warga Rohingya bisa diterima sebagai bagian masyarakat Myanmar yang setara dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Seiring penanaman prinsip kebersamaan dan kesetaraan di kalangan rezim memerintah lewat penguasa de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, Indonesia bantu warga Rohingya menata kembali kehidupan, dengan menanamkan antiradikalisme di kalangan warga Rohingya yang hasilnya hanya lebih menyengsarakan keluarganya akibat pembalasan dari penguasa. ***
Sekitar 30 ribu warga Rohingya melarikan diri dari rumah mereka sejak kekerasan berdarah Oktober 2016. Militer Myanmar membakar kampung mereka, dengan membunuh dan memerkosa. PBB pekan lalu mengatakan 10 ribu warga Rohingya telah tiba di Bangladesh yang juga mengklaim aparat keamanan telah mengusir pulang ribuan lainnya sebelum masuk. (Kompas.com, 5/12/2016)
Artinya, semakin banyak warga Rohingya yang kocar-kacir dalam pelarian, sedang ribuan pelarian terdahulu nasibnya kebanyakan juga belum jelas. Mereka berserak di berbagai penampungan sementara tempat perahu mereka terdampar di pesisir Indonesia dan Malaysia.
Sesama manusia perahu, nasib mereka tidak "sebaik" manusia perahu dari Vietnam setelah Saigon jatuh ke penguasa komunis 1975. Waktu itu, Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan badan urusan pengungsi PBB (UNHCR) menampung ribuan manusia perahu Vietnam dengan membuat barak di Pulau Galang, Kepri. Para pengungsi juga difasilitasi hingga mendapat negara penampung, sampai tak tersisa seorang pun di Pulau Galang.
Pengalaman Indonesia menangani ribuan pelarian dari kekejaman rezim di negerinya itu, layak diamalkan dalam mengatasi nasib buruk warga Rohingya. Pendekatan dan bentuknya mungkin harus disesuaikan pada realitasnya.
Untuk itu, kehadiran Menlu RI Retno Marsudi ke Myanmar memenuhi undangan Aung San Suu Kyi untuk mencari solusi masalah Rohingya harus mengutamakan prinsip-prinsip humanitas Indonesia sebagai bangsa yang berbudi luhur dan agung.
Tujuan akhir solusinya, warga Rohingya bisa diterima sebagai bagian masyarakat Myanmar yang setara dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Seiring penanaman prinsip kebersamaan dan kesetaraan di kalangan rezim memerintah lewat penguasa de facto Myanmar Aung San Suu Kyi, Indonesia bantu warga Rohingya menata kembali kehidupan, dengan menanamkan antiradikalisme di kalangan warga Rohingya yang hasilnya hanya lebih menyengsarakan keluarganya akibat pembalasan dari penguasa. ***
0 komentar:
Posting Komentar