MENKO Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Wiranto menyatakan pemerintah mewacanakan pelembagaan restorative justice, penyelesaian konflik sosial tanpa melalui proses pengadilan, melainkan dengan musyawarah.
"Saya menuju ke sana nanti. Jadi hukum di Indonesia, tidak harus masuk ke konflik pengadilan. Konflik horizontal bisa masuk ranah musyawarah untuk mufakat dan itu dalam budaya kita juga ada. Selama kedua pihak setuju dan tidak ada paksaan," ujar Wiranto. (Kompas.com, 13/12/2016)
Gagasan itu didorong penyelesaian secara musyawarah mufakat (restorative justice) kasus pembubaran kebaktian kebangunan rohani (KKR) di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB Bandung, Selasa (6/12/2016).
Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar, Jumat (9/12/2016), Kapolrestabes Bandung Kombes Winarto mengadakan pertemuan dengan Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) dan perwakilan panitia KKR. Kedua pihak menyepakati menggelar penjadwalan ulang kegiatan serupa di tempat yang sama.
Sebelumnya, acara KKR di Gedung Sabuga ITB dihentikan setelah sejumlah orang datang meminta acara itu dibubarkan. Ketua Ormas Pembela Ahlus Sunnah (PAS) Muhammad Roni mengatakan pihaknya tidak melarang kegiatan keagamaan umat monmuslim. Dia hanya meminta agar KKR dipindahkan ke rumah ibadah sesuai SKB Tiga Menteri No. 8 dan 9/2006. Namun, panitia nasional KKR Natal 2016 menyatakan telah memenuhi semua izin dan prosedur pelaksanaan ibadah.
Penyelesaian kasus KKR di Bandung yang efektif mengatasi konflik horizontal yang bisa ruwet itu menginspirasi Menko Polhukam untuk melembagakan restorative justice dalam penyelesaian konflik sosial secara nasional.
"Musyawarah ya boleh-boleh saja. Setiap konflik horizontal di masyarakat itu bisa diselesaikan melalui musyawarah sesuai dengan adat kita. Dulu sebelum ada hukum, ada yang namanya musyawarah adat. Konflik sosial itu kita selesaikan dengan cara pemufakatan," kata Wiranto.
Direktur Peneliti Setara Institute Ismail Hasan sependapat musyawarah atau restorative justice bisa menjadi jalan dalam menyelesaikan konflik horizontal di masyarakat. Namun, jika dalam konflik tersebut telah terjadi tindak pidana, polisi seharusnya menindak pelaku melalui proses hukum.
Seperti pembubaran, kalau pelakunya tidak ditindak, bisa jadi preseden buruk dan tidak memberi jaminan aksi serupa tidak terulang. Apalagi konflik horizontalnya ada yang cedera, proses pidana terhadap pelaku perlu sebagai pelajaran bagi semua pihak. ***
Gagasan itu didorong penyelesaian secara musyawarah mufakat (restorative justice) kasus pembubaran kebaktian kebangunan rohani (KKR) di Gedung Sasana Budaya Ganesha (Sabuga) ITB Bandung, Selasa (6/12/2016).
Menurut Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar, Jumat (9/12/2016), Kapolrestabes Bandung Kombes Winarto mengadakan pertemuan dengan Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) dan perwakilan panitia KKR. Kedua pihak menyepakati menggelar penjadwalan ulang kegiatan serupa di tempat yang sama.
Sebelumnya, acara KKR di Gedung Sabuga ITB dihentikan setelah sejumlah orang datang meminta acara itu dibubarkan. Ketua Ormas Pembela Ahlus Sunnah (PAS) Muhammad Roni mengatakan pihaknya tidak melarang kegiatan keagamaan umat monmuslim. Dia hanya meminta agar KKR dipindahkan ke rumah ibadah sesuai SKB Tiga Menteri No. 8 dan 9/2006. Namun, panitia nasional KKR Natal 2016 menyatakan telah memenuhi semua izin dan prosedur pelaksanaan ibadah.
Penyelesaian kasus KKR di Bandung yang efektif mengatasi konflik horizontal yang bisa ruwet itu menginspirasi Menko Polhukam untuk melembagakan restorative justice dalam penyelesaian konflik sosial secara nasional.
"Musyawarah ya boleh-boleh saja. Setiap konflik horizontal di masyarakat itu bisa diselesaikan melalui musyawarah sesuai dengan adat kita. Dulu sebelum ada hukum, ada yang namanya musyawarah adat. Konflik sosial itu kita selesaikan dengan cara pemufakatan," kata Wiranto.
Direktur Peneliti Setara Institute Ismail Hasan sependapat musyawarah atau restorative justice bisa menjadi jalan dalam menyelesaikan konflik horizontal di masyarakat. Namun, jika dalam konflik tersebut telah terjadi tindak pidana, polisi seharusnya menindak pelaku melalui proses hukum.
Seperti pembubaran, kalau pelakunya tidak ditindak, bisa jadi preseden buruk dan tidak memberi jaminan aksi serupa tidak terulang. Apalagi konflik horizontalnya ada yang cedera, proses pidana terhadap pelaku perlu sebagai pelajaran bagi semua pihak. ***
0 komentar:
Posting Komentar