INDEKS Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) mengalami bearish, kemerosotan berlanjut, dari level di atas 6.600 pada awal Maret, Selasa lalu telah berada pada level 6.243,58. Selain penurunan indeksnya, juga terjadi capital flight yang cukup signifikan, seperti satu hari saja Selasa (20/3) terjadi net sell asing sebesar Rp935,48 miliar. Vice President Research and Analyst Valbury Sekuritas Indonesia Nico Omer Jonckhere menilai arah gerak IHSG masih cenderung berat pada tahun ini. Dia masih melihat tren bearish pada pergerakan IHSG selanjutnya. (Kompas.com, 21/3) Penurunan bertahap bisa berlanjut. Saat ini, support pada level 6.230. Bila support tersebut ditembus, target selanjutnya di level 6.160, 6.080, dan 6.000. Koreksi minimum bisa mencapai 5.500. Support tersebut, menurut Nico, terhubung dengan line tren penurunan bursa dari 2008. Menurut Nico, penurunan ini justru baru dimulai, dan kemungkinan akan berlanjut dalam tiga hingga enam bulan ke depan. Pelemahan tersebut karena banyak faktor, di antaranya yang paling kuat adalah kenaikan suku bunga acuan (The Fed) yang pasti membuat saham tidak bagus karena meningkatkan cost of capital. Selain itu, ia melihat ada pelemahan ekonomi global. "Ini terjadi dari data-data belakangan ini yang mulai melemah di seluruh dunia. Paling mencolok contohnya adalah Korea Selatan yang kuartal terakhirnya menunjukkan negatif dan ekonominya turun paling tajam dalam 25 tahun terakhir," tutur Nico. Saat ini dia melihat indeks juga sudah jenuh beli atau overbought. "Kalau bursa AS turun, IHSG juga turun. Kalau rebound, maka akan rebound juga," tambahnya. Secara umum perekonomian dunia sedang terhenyak oleh double effect pukulan hock Jerome Powell (Gubernur baru The Fed) lewat testimoninya di kongres, dan upper cut Donald Trump lewat perang dagangnya dengan menaikkan tarif bea masuk baja dan aluminium. Dampak pukulan ganda tersebut juga melemahkan rupiah yang pada Kamis (22/3) kursnya sudah menjadi Rp13.765 per dolar AS. Oleh karena itu, kepiawaian bersilat lidah mengelak bahwa kemerosotan IHSG dan rupiah itu akibat faktor eksternal sudah tidak cukup lagi. Artinya, tetap harus dicari upaya meredam dampak faktor eksternal itu agar ekonomi Indonesia tidak bablas hanyut dalam banjir bandang perang dagang dunia. Bayangkan kalau Nico katakan yang terjadi sekarang baru tahap awal. Harus dibayangkan bakal seperti apa kejadian pada puncaknya nanti. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar