BILA diukur dari jumlah nominal dan rasio terhadap produk domestik bruto (PDB), defisit APBN dan posisi utang pemerintah terus dikendalikan (jauh) di bawah ketentuan UU Keuangan Negara. Defisit APBN 2016 yang sempat dikhawatirkan akan melebihi 3% PDB, dikendalikan dengan pemotongan belanja hingga Rp167 triliun. Langkah itu sedikit memperlambat pertumbuhan ekonomi. Juga 2017, defisit APBN yang diperkirakan mencapai 2,92% PDB, berhasil diturunkan menjadi sekitar 2,5% PDB. Tahun 2018 ini target defisit pemerintah kembali menurun jadi 2,19% PDB. Pada kurun 2005—2010, saat Sri Mulyani jadi menteri keuangan, Indonesia berhasil menurunkan rasio utang terhadap PDB dari 47% ke 26%. Suatu pencapaian yang sangat baik, APBN Indonesia jadi makin sehat, meski jumlah nominal utang mengalami kenaikan. Pemerintah juga dewasa ini terus menurunkan defisit keseimbangan primer, agar APBN menjadi instrumen yang sehat, sustainable. Buktinya, 2015 keseimbangan primer mencapai defisit Rp142,5 triliun, pada 2016 jadi Rp125,6 triliun, pada 2017 jadi Rp121,5 triliun. Untuk 2018 ditargetkan turun hingga Rp87,3 triliun. Dan seterusnya akan turun hingga nol atau bahkan surplus. Utang tidak hanya untuk menambal defisit belanja pemerintah. Utang juga sebagai alternatif instrumen investasi bagi masyarakat Indonesia. Jumlah investor ritel dalam negeri pembeli surat berharga negara (SBN) meningkat setiap tahun sejak diterbitkan 2006 16.561 investor, pada 2016 jadi 83.662 investor, dan pada 2018 investor ritel dalam negeri telah mencapai 501,713. Pengelolaan APBN yang hati-hati dan baik menghasilkan perbaikan dalam bentuk turunnya imbal hasil (yield) surat utang negara berjangka 10 tahun dari 7,93% pada Desember 2016 jadi 6,63% pada Maret 2018. Ini prestasi yang tidak mudah karena pada saat yang sama justru The Fed melakukan kenaikan suku bunga pada akhir Desember 2016 dan dilanjutkan dengan kenaikan suku bunga tiga kali dalam 2017. Langkah konsisten dan hati-hati dari pemerintah itu telah menghasilkan kepercayaan yang makin kuat terhadap APBN dan perekonomian kita. Hal itu dikorfirmasi oleh peringkat layak investasi dari lima lembaga pemeringkat dunia (S&P, Moodys, Fitch, JCR, dan R&I). Disiplin fiskal tidak berarti kita menjadi ketakutan dan panik atau bahkan menjadi alergi terhadap instrumen utang. Kita harus tetap menjaga instrumen tersebut sebagai salah satu pilihan kebijakan dalam mencapai tujuan pembangunan. *** (Habis)
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar