SEJAK Sri Mulyani dinobatkan World Government Summit di Dubai sebagai menteri terbaik di dunia, mata uang rupiah menghadapi ujian bertubi-tubi, hingga Rabu (7/3/2018) kurs per dolar AS di BI (jual) Rp13.832 dan (beli) Rp13.694. Rupiah yang sempat mencatat kinerja terbaik setidaknya dalam 20 tahun terakhir, menurut Bloomberg, Selasa (7/3/2018), merupakan salah satu mata uang yang sangat terpengaruh kepemilikan asing di pasar obligasi. Maka, ketika pekan lalu modal asing ditarik dari pasar obligasi Indonesia sebesar 1,02 miliar dolar AS, rupiah goyah. Ini adalah arus modal keluar atau capital outflow terbesar dalam sepekan sejak November 2016. (Kompas.com, 7/3/2018) Dalam sebulan terakhir, nilai tukar rupiah merosot 1,6%. Dengan kenyataan itu rupiah menjadi mata uang dengan kinerja terburuk di Asia dan ketiga terburuk di antara 24 mata uang negara berkembang (emerging market) di seluruh dunia. Nilai tukar rupiah tumbang akibat aksi jual yang dilakukan investor asing di pasar saham dan obligasi. Rupiah juga melemah karena volatilitas di pasar ekuitas akibat ekspektasi kenaikan suku bunga AS. Indeks Bloomberg JPMorgan Asia Dollar Index yang mengukur 10 mata uang Asia terhadap dolar AS menguat 6,7% tahun lalu. Ini penguatan tahunan terbesar sejak indeks tersebut diluncurkan tahun 1994. Mata uang negara-negara kawasan Asia terpuruk akibat penguatan dolar AS. Nilai tukar solar AS terakhir ini menguat setelah Gubernur Bank Sentral AS Jerome Powell menyampaikan testimoni di depan Kongres AS. Paparannya mengenai kuatnya pertumbuhan ekonomi AS memicu spekulasi The Feds akan menaikkan suku bunga acuan empat kali tahun ini. Bagi pengusaha Indonesia yang usahanya ekspor, menguatnya dolar AS membawa tambahan hasil ekspor dalam rupiah. Tapi bagi pengusaha yang industrinya memakai bahan baku impor, kenaikan kurs dolar bisa memberatkan perusahaannya. Untuk itu Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Roeslani wanti-wanti, "Pokoknya jangan fluktuasinya tajam. Itu agak susah. Paling tidak bertahan agak lama. Jangan lebih dari Rp14.000." (Kompas.com, 6/3/2018) "Kami sudah mengantisipasi, tapi diharapkan memang gejolak ini, kenaikannya tidak terlalu banyak. Karena buat kami inginnya stabilitas," ujarnya. Beratnya ujian yang dihadapi rupiah kali ini karena soalnya faktor eksternal, tidak bisa ditangani langsung. Cuma bisa diantisipasi berbagai kemungkinannya, tapi yang terjadi malah yang terburuk—capital outflow. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar