TERHAMBAT oleh konsumsi rumah tangga yang melambat, ekonomi Indonesia tahun 2018 menurut Chief Economist Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih hanya akan tumbuh 5,08% hingga 5,15%. Angka itu lebih rendah dari target pemerintah dalam APBN 2018 sebesar 5,4%, di bawah perkiraan Bank Indonesia (BI) di kisaran 5,1% hingga 5,5%. Konsumsi rumah tangga sebagai penyumbang terbesar produk domestik bruto (PDB) masih memiliki masalah tahun ini. Indikasi itu terlihat dari lesunya penjualan sektor ritel Januari 2018. Dari Survei Penjualan Eceran yang dilakukan BI Januari 2018, lanjut Lana, mayoritas dari semua komponen penjualan ritel mengalami penurunan, kecuali bahan bakar minyak (BBM). Meski pemerintah tidak menaikkan harga BBM, ketersediaannya belum bisa menenuhi kebutuhan masyarakat. "Walau harga enggak naik, barangnya enggak ada. Ini yang menggerus (daya beli masyarakat)," papar Lana. (Kompas.com, 25/2) Masalah struktural daya beli masyarakat juga bisa terlihat dari upah minimum provinsi (UMP) riil yang melambat. Kemudian nilai tukar petani (NTP) riil yang juga tercatat negatif. Pada Januari 2018, NTP nominal mencatat kontraksi dibanding dengan 2017. Sementara inflasi Januari 2018 mencapai 3,25% yoy. "Kalau minus dikurangi inflasi 3,25%, NTP riil itu negatif," jelasnya. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang melambat, sepanjang 2017 hanya tumbuh 4,95%, dibanding dengan 2016 sebesar 5,01%. Padahal, sumbangan konsumsi rumah tangga pada PDB merupakan komponen terbesar, pada 2017 mencapai 56,13%. Oleh karena itu, tersendatnya laju konsumsi rumah tangga perlu mendapat perhatian. Salah satu faktor, menurut Lana, adalah merosotnya daya beli masyarakat, antara lain akibat inflasi. Merosotnya daya beli masyarakat terindikasi dari Survei Penjualan Eceran yang dilakukan BI Januari 2018, harus dicari penyebab sebenarnya, selain akibat lonjakan harga beras masa paceklik mencapai lebih Rp13.000/kg. Hal yang layak diwaspadai bukan saja pelambatan konsumsi rumah tangga jadi laten, melainkan kemerosotan daya beli masyarakat juga tidak bisa dihentikan. Gejala beruntun penutupan toko ritel konvensional dan modern yang semula disebut akibat peralihan gaya hidup ke belanja daring, belakangan dibantah karena terbukti transaksi daring baru 0,7% dari total transaksi ritel nasional. Kalau penyebab sebenarnya pelemahan daya beli tidak ditemukan, cek apakah segala kartu bantuan sosial bisa digunakan. Jangan sampai, kebanyakan kartu jadi gaplean. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar