PROGRAM kedaulatan pangan terancam oleh lonjakan impor gandum yang pada 2017 mencapai 11,6 juta ton dan 2018 sebesar 12,5 juta ton. Tambahan 3 juta ton per tahun untuk industri pakan ternak, sebagai substitusi jagung yang dilarang impor. Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa mengatakan, "Proporsi gandum sebagai pangan pokok naik dan lewat ambang kritis yang saya khawatirkan 25%." Menurut Dwi, yang juga ketua Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, proporsi gandum sebagai pangan pokok di Indonesia melonjak dari 21% pada 2015 menjadi 25,4% pada 2017. (Kompas, 23/2/2018) Data terbaru Departemen Pertanian AS (USDA) 2017/2018, Indonesia menjadi negara pengimpor gandum terbesar di dunia, menggeser Mesir yang secara tradisional pemakan terigu. Menurut studi USDA, tren peningkatan impor gandum dan produk turunannya oleh Indonesia, terjadi karena pergeseran pola makan masyarakat. "Proporsi gandum sebagai pangan pokok kita akan naik tiap tahun dan 100% kita impor sehingga dari aspek kedaulatan pangan ini jadi ancaman serius. Jika ada gejolak harga gandum di dunia, berpengaruh bagi Indonesia," kata Dwi. Ironi peningkatan impor gandum yang nyaris tidak terkendali itu, menurut Tejo Wahyu Jatmiko, koordinator nasional Aliansi untuk Desa Sejahtera, akibat gagalnya kebijakan diversifikasi pangan, terutama kegagalan implementasi Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Berbasis Sumber Daya Lokal. Pasal 41 UU Nomor 18 Tahun 2002 mengamanatkan tentang penganekaragaman pangan. "Sayangnya kebijakan ini tidak dibarengi penganggaran dan berhenti jadi jargon. Bahkan, keberagaman pangan lokal kian terpinggirkan karena pemerintah memprioritaskan padi, jagung, dan kedelai. Ragam pangan lokal tidak dianggap," tukas Tejo. Keberagaman pangan lokal semakin terpingirkan, dari tiwul (ketela) sampai ongol-ongol (sagu) yang tidak dimunculkan lagi dalam seremoni kenegaraan sekalipun. Dahulu, pada acara peringatan hari kemerdekaan, para veteran pejuang bernostalgia makan tiwul dan beragam pangan lokal lainnya. Tapi kini, sekadar seremoni saja pun sudah dilupakan. Di sisi lain, beraneka pangan modern berbasis terigu didorong pesat industrialisasinya dengan belanja iklan yang besar-besaran dari beragam jenis mi, roti, dan kue, terlebih jajanan anak. Tidak satu pun iklan getuk, tiwul, atau ongol-ongol muncul di layar kàca, dalam bentuk iklan layanan masyarakat sekalipun. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar