SETIAP Hari Pers Nasional 9 Februari, idealnya setiap insan pers introspeksi, melihat realitas diri dan profesinya. Saat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) lahir 9 Februari 1946, yang tanggal lahirnya dijadikan Hari Pers Nasional, pers nasional masa itu umumnya berkarakter pers perjuangan.
Pers perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara yang baru direbut dari kaum penjajah.
Pers perjuangan mewujudkan kemerdekaan sebagai jembatan emas mencapai masyarakat adil dan makmur.
Pers perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran berdasar kaidah dan norma moral amar makruf nahi mungkar, membela yang hak dan memerangi yang batil.
Pers perjuangan menggelorakan semangat revolusi mengusir penjajah yang mencoba kembali dengan kekuatan militer maupun kolonialisme baru, imperialisme.
Pers perjuangan yang sedemikian tegas wujud dan karakternya itu berlangsung sampai hadirnya demokrasi liberal yang berasaskan UUDS 1950. Pada era demokrasi liberal, wujud pers perjuangan cenderung partisan, koran dijadikan corong partai politik. Era itu, koran Suluh Indonesia membawakan suara PNI, koran Abadi menjadi saluran aspirasi Masyumi, Duta Masyarakat punya Partai NU, Pedoman dipakai PSI, dan seterusnya.
Kecenderungan pers partisan itu bahkan ada yang terbawa sampai era Orde Baru, tanpa kecuali lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Bung Karno mengembangkan sistem Demokrasi Terpimpin. Umumnya, koran yang punya sejarah bekas partisan itu di zaman Orde Baru masih hidup kritis terutama terhadap rezim penguasa. Dan karena sikap seperti itu secara terang-terangan kritiknya diarahkan ke rezim berkuasa, pada suatu titik krusial di 1974 koran seperti Abadi dan Pedoman diberedel oleh rezim Orde Baru.
Selebihnya, koran-koran yang tersisa dikooptasi ketat oleh rezim militeristik itu. Tak ada koran kritis dalam arti sebenarnya. Dari kubu penguasa diintrodusir Pers Pancasila, dengan jenis kritik membangun, kritik konstruktif, dan sebagainya. Para pemred ditatar P-4 120 jam di antaranya diberi predikat Manggala, pertanda penghayatannya terhadap Pancasila bisa diandalkan.
Tahun 1998 rezim Orde Baru tumbang, kooptasi terhadap pers terlepas, dan bersama reformasi lahirlah pers bebas. Semangat pers perjuangan juga bersemi kembali. Namun, akibat tekanan perubahan teknologi yang pesat sehingga pers cetak memasuki era "sunset industry", perjuangan pers perjuangan era terakhir adalah berusaha agar masa senjakala bisa berkepanjangan. ***http://www.lampost.co/berita-pers-perjuangan-riwayatmu-dulu
Pers perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara yang baru direbut dari kaum penjajah.
Pers perjuangan mewujudkan kemerdekaan sebagai jembatan emas mencapai masyarakat adil dan makmur.
Pers perjuangan menegakkan keadilan dan kebenaran berdasar kaidah dan norma moral amar makruf nahi mungkar, membela yang hak dan memerangi yang batil.
Pers perjuangan menggelorakan semangat revolusi mengusir penjajah yang mencoba kembali dengan kekuatan militer maupun kolonialisme baru, imperialisme.
Pers perjuangan yang sedemikian tegas wujud dan karakternya itu berlangsung sampai hadirnya demokrasi liberal yang berasaskan UUDS 1950. Pada era demokrasi liberal, wujud pers perjuangan cenderung partisan, koran dijadikan corong partai politik. Era itu, koran Suluh Indonesia membawakan suara PNI, koran Abadi menjadi saluran aspirasi Masyumi, Duta Masyarakat punya Partai NU, Pedoman dipakai PSI, dan seterusnya.
Kecenderungan pers partisan itu bahkan ada yang terbawa sampai era Orde Baru, tanpa kecuali lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Bung Karno mengembangkan sistem Demokrasi Terpimpin. Umumnya, koran yang punya sejarah bekas partisan itu di zaman Orde Baru masih hidup kritis terutama terhadap rezim penguasa. Dan karena sikap seperti itu secara terang-terangan kritiknya diarahkan ke rezim berkuasa, pada suatu titik krusial di 1974 koran seperti Abadi dan Pedoman diberedel oleh rezim Orde Baru.
Selebihnya, koran-koran yang tersisa dikooptasi ketat oleh rezim militeristik itu. Tak ada koran kritis dalam arti sebenarnya. Dari kubu penguasa diintrodusir Pers Pancasila, dengan jenis kritik membangun, kritik konstruktif, dan sebagainya. Para pemred ditatar P-4 120 jam di antaranya diberi predikat Manggala, pertanda penghayatannya terhadap Pancasila bisa diandalkan.
Tahun 1998 rezim Orde Baru tumbang, kooptasi terhadap pers terlepas, dan bersama reformasi lahirlah pers bebas. Semangat pers perjuangan juga bersemi kembali. Namun, akibat tekanan perubahan teknologi yang pesat sehingga pers cetak memasuki era "sunset industry", perjuangan pers perjuangan era terakhir adalah berusaha agar masa senjakala bisa berkepanjangan. ***http://www.lampost.co/berita-pers-perjuangan-riwayatmu-dulu
0 komentar:
Posting Komentar