SKOR indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia 2017 stagnan atau sama dengan tahun 2016, yakni pada angka 37 di peringkat 96 dari 180 negara yang disurvei Transparency International (TI). "Hal ini menunjukkan stagnasi upaya berbagai pihak, khususnya pemerintah, kalangan politisi, dan pebisnis, dalam usaha pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Suyatmiko. (Lampung Post, 22/2/2018) Skor IPK pada rentang 0—100. Angka 0 berarti negara sangat korup, sedang skor 100 negara dipersepsikan bersih dari korupsi. Wawan menjelaskan ada delapan parameter atau komponen dalam menentukan skor IPK. Empat komponen sebenarnya mencatat kenaikan, dua stagnan, tapi dua lagi mengalami penurunan yang signifikan. Empat komponen yang menyumbang kenaikan skor IPK, yakni World Economic Forum, Global Insight Country Risk Ratings, Bertelsmann Foundation Tranformation Index, dan IMD World Competitiveness Yearbook. Dua parameter stagnan, Economist Inteligent Unit Country Ratings, dan Political Risk Service. Sedangkan dua parameter yang menurun drastis World Justice Project dan Political & Economic Risk Consultancy. "Peningkatan terbesar dikontribusikan paket kemudahan berusaha dan penurunan terbesar disumbang praktik korupsi di sektor eksekutif, legislatif, dan peradilan. Masih butuh banyak perjuangan untuk menuju bebas korupsi," ujar Wawan. Prestasi pemerintahan Jokowi-JK sebenarnya luar biasa dalam peningkatan peringkat kemudahan berusaha. Seperti dilaporkan Bank Dunia awal November 2017, dalam dua tahun peringkat Indonesia naik 34 tingkat, dari 106 di 2015 menjadi posisi 72 di 2017 dari 190 negara yang disurvei. Tapi karena korupsi di sektor eksekutif, legislatif, dan peradilan kian masif, tampak pada makin ramainya hasil OTT KPK, berakibat menutup prestasi spektakuler itu, sehingga IPK jadi stagnan. Di sisi lain, penindakan korupsi yang makin cepat lewat OTT, ternyata kalah pesat juga dari masifnya korupsi yang semakin meluas--kalau semula dari pusat ke daerah, kini malah merebak di desa. Celakanya, korupsi di daerah dan desa makin masif tidak bisa ditangani KPK, karena para pelakunya bukan (atau tidak terkait dengan) pejabat negara. Jadi, kalau para pejabat eksekutif, legislatif, dan aparat penegak hukum cuma heboh bicara antikorupsi tapi perilaku korupnya makin menjadi-jadi, bisa saja skor IPK Indonesia bukan naik, melainkan justru merosot. ***
Kata Kunci
Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani
0 komentar:
Posting Komentar