SETIAP menonton televisi begitu kejamnya orang Myanmar (Burma) membantai warga Rohingya, tidak habis pikir, bagaimana mungkin Buddhisme yang mereka anut bisa menjadi sumber kekuatan untuk melakukan tindakan biadab itu? Namun, setelah membaca tulisan John P. Jones III, resensi buku Burma The Golden karya Wilhelm Klein (1982) di Amazon (29/6/2011), didapat kemungkinan bukan Buddhisme yang menjadi penyebabnya.
Langsung Jones III mengawali tulisan, "Wilhelm Klein, who wrote the subject words in the early '80's expressed a central facet of life in Burma... the power of myth, actually two: Buddhism and Marxism, wich makes this country so unique."
Itulah kemungkinan yang disingkap buku Wilhelm Klein, dari mana sumber sifat revolusioner homo homini lupus (suka memangsa sesama itu) hingga manusia bisa menjadi demikian buas dan kejam membunuh sesama manusia. Tidak kepalang, di bab terakhir bukunya itu, secara khusus Klein menyajikan pengamatannya bagaimana Marxisme bisa teradaptasi dalam cara hidup orang Burma (Myanmar).
Perilaku ideologis itu mengaktual secara nyata utamanya sejak kudeta militer 1962, di bawah kekuasaan Jenderal Ne Win. Salah satu gambaran perubahan yang terlihat secara fisis adalah jajaran stupa sepanjang Sungai Irawadi yang sebelumnya berjumlah lebih 13.000, kini tersisa tak lebih dari 2.000.
Dalam buku ini Wilhelm Klein mencatat Arakan (sekarang jadi Distrik Rakhine) tempat suku Rohingya itu dahulu sebuah kerajaan merdeka di bawah Raja Narameikhla. Pada tahun 1404, Arakan diserbu pasukan kerajaan Ava (Raja Burma). Raja Nara menyelamatkan diri ke kerajaan Bengali (sekarang Banglades).
Pada 1428 atas bantuan Sultan Bengali Sultan Nara kembali merebut kerajaan Arakan dari Ava. Kebetulan selama mengungsi di Bengali, Raja Nara sudah masuk Islam, maka saat ia kembali bertakhta memakai nama muslim, Sultan Solaiman Shah.
Arakan berdiri sebagai negara Islam merdeka selama tiga setengah abad, sampai pada 1784 lagi-lagi Raja Burma, kali ini Bodawphaya dari Dinasti Konbaung menyerbu Arakan. Pemerintah Arakan jatuh. Ribuan orang tewas dan ditawan. Sekitar 20.000 tawanan terdiri dari tokoh dan intelektual muslim, seniman, digiring ke pusat Burma, ratusan orang tewas di perjalanan.
Itu sampai Inggris merebut Arakan pada 1824. Penguasa Inggris justru membawa muslim Rohingya dari Bengali kembali ke Arakan sebagai pekerja perkebunan.
Tapi sejak Jepang masuk, Rohingya tertindas lagi sampai sekarang. ***http://www.lampost.co/berita-begitu-kejamnya-orang-myanmar
Langsung Jones III mengawali tulisan, "Wilhelm Klein, who wrote the subject words in the early '80's expressed a central facet of life in Burma... the power of myth, actually two: Buddhism and Marxism, wich makes this country so unique."
Itulah kemungkinan yang disingkap buku Wilhelm Klein, dari mana sumber sifat revolusioner homo homini lupus (suka memangsa sesama itu) hingga manusia bisa menjadi demikian buas dan kejam membunuh sesama manusia. Tidak kepalang, di bab terakhir bukunya itu, secara khusus Klein menyajikan pengamatannya bagaimana Marxisme bisa teradaptasi dalam cara hidup orang Burma (Myanmar).
Perilaku ideologis itu mengaktual secara nyata utamanya sejak kudeta militer 1962, di bawah kekuasaan Jenderal Ne Win. Salah satu gambaran perubahan yang terlihat secara fisis adalah jajaran stupa sepanjang Sungai Irawadi yang sebelumnya berjumlah lebih 13.000, kini tersisa tak lebih dari 2.000.
Dalam buku ini Wilhelm Klein mencatat Arakan (sekarang jadi Distrik Rakhine) tempat suku Rohingya itu dahulu sebuah kerajaan merdeka di bawah Raja Narameikhla. Pada tahun 1404, Arakan diserbu pasukan kerajaan Ava (Raja Burma). Raja Nara menyelamatkan diri ke kerajaan Bengali (sekarang Banglades).
Pada 1428 atas bantuan Sultan Bengali Sultan Nara kembali merebut kerajaan Arakan dari Ava. Kebetulan selama mengungsi di Bengali, Raja Nara sudah masuk Islam, maka saat ia kembali bertakhta memakai nama muslim, Sultan Solaiman Shah.
Arakan berdiri sebagai negara Islam merdeka selama tiga setengah abad, sampai pada 1784 lagi-lagi Raja Burma, kali ini Bodawphaya dari Dinasti Konbaung menyerbu Arakan. Pemerintah Arakan jatuh. Ribuan orang tewas dan ditawan. Sekitar 20.000 tawanan terdiri dari tokoh dan intelektual muslim, seniman, digiring ke pusat Burma, ratusan orang tewas di perjalanan.
Itu sampai Inggris merebut Arakan pada 1824. Penguasa Inggris justru membawa muslim Rohingya dari Bengali kembali ke Arakan sebagai pekerja perkebunan.
Tapi sejak Jepang masuk, Rohingya tertindas lagi sampai sekarang. ***http://www.lampost.co/berita-begitu-kejamnya-orang-myanmar
0 komentar:
Posting Komentar