Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Herd Immunity untuk Tak Main Paksa!

Artikel Halaman 8, Lampung Post Senin 18-01-2021
Herd Immunity untuk Tak Main Paksa!
H. Bambang Eka Wijaya

SAAT mengumumkan vaksinasi Covid-19, Presiden Jokowi menyatakan tidak semua penduduk Indonesia yang 270 juta divaksin. Tapi, untuk mencapai herd immunity cukup 180 juta orang, atau 70% dari total penduduk.
Herd immunity artinya kelompok kebal dari suatu virus penyakit tertentu. Untuk membentuknya, cukup 60% - 70% dari suatu kelompok masyarakat yang mendapat vaksin.
Dengan itu, ketika ada virus memapar salah satu anggota kelompok, ia gagal menginfeksi. Penyebaran virus pun terputus pada orang yang telah dikebalkan tersebut. Maka seluruh warga kelompok kebal itu selamat dari paparan virus.
Pola herd immunity dibuat untuk menghindari adanya pemaksaan dalam proses vaksinasi. Karena, dalam setiap kelompok kebal selalu ada orang yang tersisa tidak divaksin.
Untuk itu, tidak perlu main paksa pada semua orang harus mau divaksin. Apalagi pakai paksaan dengan ancaman hukuman denda kalau menolak divaksin. Tindakan seperti itu tak perlu dilakukan, karena akan selalu ada yang tersisa tidak divaksin dalam setiap kelompok.
Pemaksaan juga bisa menghabiskan waktu sehingga program vaksinasi tak mencapai target herd immnunity tepat waktu.
Kebiasaan main paksa atau intimidatif yang lazim dilakukan penguasa kemaruk unjuk kekuasaan itu, tak perlu dilakukan dalam vaksinasi mengatasi pandemi.
Pola intimidatif biasa untuk menimbulkan efek jera. Khusuanya bagi perilaku jahat seperti mencuri, menipu, merampok, pengedar narkoba, dan sejenisnya.
Kalau untuk kepentingan bersama dalam kehidupan bermasyarakat, yang harus dibangun adalah kesadaran. Mediumnya partisipasi, bukan aturan intimidatif.
Dalam pola partisipatif orang merasa "diwongke", dihormati harkat-martabatnya, sehingga merasa dirinya lebih dihargai dan terhormat. Untuk kehormatan dirinya itu orang rela mengorbankan waktu, milik, bahkan dirinya demi kepentingan kebersamaan.
Itu jauh berbeda dengan pola intimidafif, di mana orang merasa direndahkan harkat dan martabatnya, disepelekan hingga layak dihukum dalam bentuk apa pun. Cara ini bisa membuat orang kesal. Alih-alih jadi jera, malah banyak yang ngadat melawan secara tertutup atau sembunyi-sembunyi.
Contohnya pelaksanaan protokol kesehatan yang dilakukan dengan hukuman denda atau kerja paksa sebagai ganti kalau tak mampu bayar denda, sembilan bulan aturan itu bukan efek jera yang didapat, survei pemerintah yang diungkap Jokowi, disiplin masyarakat masih buruk. Akibatnya, penularan Covid cenderung meningkat terus. ***



0 komentar: