Artikel Halaman 8, Lampung Post Sabtu 16-01-2021
Perbankan pun Disfungsi Intermediasi!
H. Bambang Eka Wijaya
PERBANKAN Indonesia mengalami disfungsi intermediasi, penyaluran kredit terendah sejak krisis 1998/1999. Dengan dana perbankan yang tumbuh sekitar 10%-11% selama 2020, penyaluran kreditnya tak lebih dari 2%-3%. Bahkan pada November terjadi minus 0,49%.
Demikian catatan akhir tahun 2020 majalah Info Bank yang dirilis Pemimpin redaksinya Eko B. Suprityanto, Selasa (12/1/2020).
Dengan kenyataan itu, menurut Eko, bank telah kehilangan fungsinya. Bank justru menyembunyikan "bopeng" wajahnya dengan bedak restrukturisasi kredit.
Solek "menor" perbankan itu diperbolehkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai Maret 2022. Maka para bankir pun melakukan buying time untuk cari aman sampai "the moment of truth" batas waktu harus berani mengambil risiko, tiba.
Sebelumnya, catat Info Bank, pada era 2014 pertumbuhan kredit paling tidak tiga sampai empat kali pertumbuhan ekojomi. Namun, sejak enam tahun lalu pertumbuhan kredit tidak lagi tiga kali pertumbuhan ekonomi. Artinya, kredit perbankan tidak (lagi) punya banyak kontribusi terhadap kualitas pertumbuhan ekonomi.
Peran kredit perbankan makin rendah terhadap daya dorong pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, yang sekarang harus digenjot ialah bagaimana kred6it perbankan bisa kembali mengalir. Kredit perbankan paling tidak memberi dorongan terhadap sektor riil dan pada akhirnya dapat meningkatkan daya beli masyarakat.
Pertumbuhan kredit perbankan 2020 tercatat paling rendah, padahal suku bunga acuan BI (7 Day Revo-Rate) tercatat juga peling rendah sepanjang sejarah Indonesia. Masalahnya, kenapa permintaan kredit juga rendah padahal suku bunga sudah turun?
Boleh jadi, kata Eko, permintaan kredit tidak semata-mata dipengaruhi oleh suku bunga. Faktor suku bunga bukan menjadi hal utama bagi permintaan kredit.
Jika diperhatikan denyut sektor riil sekarang ini, telah terjadi penurunan aktivitas usaha. Dan yang utama adalah turunnya konsumsi masyarakat. Konsumsi rumah tangga juga berpengaruh penting dalam permintaan kredit. Tapi uang hanya berputar antarekening bahkan dalam bentuk simpanan masyarakat.
Sementara para bankir main aman saja, menyebut risiko kredit besar, sehingga bank perlu berhati-hati. Dana cadangan bank pun membengkak amat besar, terutama di bank milik negara (Himbata), sekalipun nonperforming loan (NPL) masih rendah
Lantas untuk apa dana publik ditimbun di lemari besi bank, ketika sektor riil lunglai amat membutuhkan energi dana? Inilah model ekonomi absurd! ***
0 komentar:
Posting Komentar