Artikel Halaman 8, Lampung Post Jumat 15-01-2021
Rekayasa Genetika Produksi Kedelai!
H. Bambang Eka Wijaya
DI supermarket menemukan kedelai rebus diikat dengan gagangnya seperti "dekeman" di Jawa. Menarik, karena ini di supermarket kota besar Jepang. Ambil beberapa ikat masukkan kantong belanja. Di bus menuju stasiun dicicip.
"So big soybean," ucapku ke pria di sebelah yang melirik ke arahku.
Ia tersenyum sambil menyahut, "The hybrid soybean." Lantas nerocos dengan bahasa Inggris, yang saya tangkap maksudnya kira-kira, itu produk teknik rekayasa genetika, made in Jepang."
Terasa bangga ia menyebut 'made in Jepang'. Saya tak mau kalah menimpalinya, "Kami di Indonesia juga punya padi hibrida, kelapa hibrida, dan berbagai hibrida lainnya."
"Oh ya," giliran dia terkejut. "Berarti teknik rekayasa genetika dari Jepang sudah mendunia," lanjutnya.
"Hibrida kami asli Indonesia," tegasku. "Dan sudah berusia puluhan tahun."
"Tapi, kok aneh melihat kedelai hibrida? Berarti teknologinya masih di belakang Jepang," dia tak mau kalah. "Saya bisa menduga, padi hibrida dan kelapa hibrida kalian pasti tidak lebih besar-besar dibanding sebelumnya. Kedelai hibrida kau lihat sendiri, lebih besar dari induknya, lebih lagi dari neneknya."
Aku mati kutu.
"Kini si hibrida dikawinkan dengan genetika baru lagi, lahirlah anaknya kedelai transgenik," lanjutnya. "Sudah lebih canggih lagi. Bukan hanya kualitas produksinya yang terbaik karena bijinya besar-besar, kuantitas produksinya lebih dua kali lipat dari neneknya. Batang dan umurnya jadi lebih pendek, sekaligus lebih sakti dari hama udara (berbagai jenis belalang) dan hama akar (berbagai jenis ulat). Hasil panen petani jauh lebih terjamin kualitas dan kuantitasnya.
Aku jadi terdiam. Kebetulan sudah sampai stasiun KA, kami harus turun. Dalam hati aku bersyukur tak sempat buka rahasia, kedelai bahan pangan utama bangsa Indonesia, yang selama ini dicukupi dari impor.
Kedelai lokal produksinya rendah, buahnya lebih kecil-kecil, dan belum ada rekayasa hingga banyak petani enggan menanam kedelai.
Kalau pada tanaman pangan lain sudah lama dilakukan rekayasa genetika untuk meningkatkan produksi dan ketahanannya dari hama, kenapa tidak dilakukan pada kedelai? Konon alasannya karena kedelai tanaman subtropis kurang cocok di daerah tropis seperti Indonesia.
Justru karena perlunya berbagai penyesuaian itulah, relevansi rekayasa genetika. Agar hal-hal yang kurang pas jadi pas.
Sekalian mendorong kemajuan teknologi rekayasa genetika, masak untuk vaksin saja kita harus impor ratusan juta unit. ***
0 komentar:
Posting Komentar