Artikel Halaman 8, Lampung Post Selasa 19-01-2021
Survei BI, Penjualan Ritel Kian Ambles!
H. Bambang Eka Wijaya
HASIL survei Bank Indonesia (BI) dicerminkan Indeks Penjualan Riil (IPR) menunjukkan penjualan ritel 2020 anjlok sedalam 16,3% yoy pada November, lebih buruk dari bulan sebelumnya minus 14,9%.
Hal itu membuat penjualan ritel terus berada di zona kontraksi (pertumbuhan negatif) dalam 12 bulan beruntun. Bahkan sejak Oktober 2020 laju kontraksinya semakin parah.
Lebih menyedihkan lagi, penjualan ritel pada Desember 2020 diperkirakan semakin ambles. BI memprediksi IPR Desember 2020 tumbuh minus 20,7% yoy.
Dengan demikian, penjualan ritel sepanjang kuartal IV 2020 diperkirakan minus 17,3% yoy. Lebih dalam dari kuartal sebelumnya, minus 10,1% yoy. (CNBC-Ina, 12/1/2021)
Data BI ini mengkonfirmasikan bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih bermasalah. BI juga merilis hasil Survei Konsumen priode Desember 2020 yang hasilnya belum menggembirakan.
Pada Desember 2020 Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) tercatat pada 96,5. Naik dibanding bulan sebelumnya, 92.
IKK menggunakan angka 100 sebagai titik mula. Jika masih di bawah 100, artinya konsumen belum sepenuhnya percaya diri mengarungi perekonomian saat ini dan beberapa bulan ke depan.
Sepasang data itu, IPR dan IKK, memberi gambaran konsumsi rumah tangga masih belum sehat. Padahal konsumsi rumah tangga adalah penyumbang terbesar pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan kontribusi sebesar 57,3% pada kuartal III 2020.
Pada kuartal II 2020 konsumsi rumah tangga tumbuh minus 5,52% yoy, dan pada kuartal III 2020 minus 4,04% yoy. Melihat IPR dan IKK yang nyungsep, sukar untuk memprediksi kuartal IV 2020 komsumsi rumah tangga bisa berbalik arah menjadi tumbuh positif.
Kalau pada kuartal IV 2020 masih tumbuh negatif, harapan Indonesia untuk keluar dari resesi tinggal tergantung pada investasi (pembentukan modal tetap bruto/PMTB), surplus ekspor dari impor, konsumsi pemerintah, dan konsumsi lembaga nonpemerintah.
Pada kuartal III 2020 PMTB menyunbang PDB 31,12%, surplus ekspor dari impor sekitar 2,6%, dan konsumsi pemerintah 9,69%. Konsumsi pemerintah yang digenjot maksimal priode tersebut, menjadi harapan lolos dari resesi. Sayangnya, genjotan konsumsi pemerintah itu nilainya agak keropos, seperti bansos.
Untuk menghindari risiko keropos oleh korupsi, pemerintah mengubah bantuan dari sembako menjadi bantuan langsung tunai (BLT), weselnya dikirimkan ke alamat penerima melalui kantor pos.
Semoga upaya terakhir ini bisa mengangkat bangsa dari kubangan resesi. ***
0 komentar:
Posting Komentar