Artikel Halaman 12, Lampung post Selasa 10-08-2021
Persepsi, Di Ulang Tahun Makan Balung!
H. Bambang Eka Wijaya
SEORANG anak yang sukses di kota besar pada hari ulang tahunnya mengundang ayah dan ibunya dari desa. Keduanya dibawa makan malam di restoran mewah
Sebagai hari istimewa, si anak memesan hidangan istimewa. Istimewa bukan hanya karena tidak ada di desa, tapi juga merupakan hidangan paling istimewa di restoran tersebut. Yakni, T-Bone Steak.
Sepulang dari restoran, di kamar ibunya nyeletuk ke ayah, "Anak kita sekarang jadi pelit banget, ya? Ulang tahun ngajak orang tua makan ke restoran, cuma disuguhi balung."
Balung dalam bahasa desa berarti tulang. Maksudnya tulang "T" tempat menempel daging has di tulang belakang sapi, yang ikut disajikan di hot plate T-Bone Steak. Penyajian bersama tulangnya sebagai gambaran kemewahan orang kota, dianggap aneh bahkan kurang sopan bagi orang desa.
Perbedaan persepsi demikian juga terjadi dalam ulang tahun media di era disrupsi dewasa ini. Para pengelola media dengan bangga menyajikan "T-Bone Steak" yang modern, tapi para pembacanya tersengal menyantap sajian balung.
Perbedaan persepsi yang ekstrem, tanpa disadari bisa menbuat pembaca beralih ke media yang lebih sesuai cita rasanya. Pembaca yang terbiasa dengan sajian pers perjuangan, dengan semangat pers merdeka versi UU 40/1999, bisa muntah mendapat sajian pers zaman now yang copy paste berantai rilis ucapan pejabat hingga bunyi dan titik komanya berbagai media sama, dengan gelora semangat advertorial.
Padahal, advertotial itu adalah sajian istimewa pers zaman now, sajian paling bergengsi, paling berdaging pula.
Tapi bagi pembaca pers perjuangan, dalam pers advertorial tak didapatkan empat rasa utama (asam-manis-asin-gurihnya) pers merdeka menu UU 40/99, yakni informasi terbaru, kultural edukatif, kontrol sosial, dan hiburan. Dalam pers copy paste rilis dan advertorial, irama lagunya tunggal: puja-puji kesuksesan penguasa segala kelas.
Sejumlah media yang berusaha bertahan dalam pers merdeka, terpaksa gulung tikar dan hanya menyisakan media daring untuk berhanyut-hanyut di arus zaman dengan gigih berusaha tidak sampai hanyut; ngeli tanpo keli. Menunggu waktu kalau-kalau ada kesempatan bangkit kembali.
Lampung Post di usianya ke-47 masih lebih beruntung. Meski ngos-ngosan ikut ngeli tanpo keli, terus berusaha mencari keseimbangan baru sambil mengembangkan media zaman baru, untuk tapakan langkah ke depan. Kompromi dengan realitas zanan, jadi harga yang harus dibayar untuk bertahan hidup: sampai masa depan tiba. ***
0 komentar:
Posting Komentar