Artikel Halaman 12, Lampung Post Selasa 31-08-2021
Orang-Orang Kok Sengaja Menista Agama?
H. Bambang Eka Wijaya
ADA kesan, orang-orang dengan sengaja menista agama. Muhamad Kece, menurut polisi, mengunggah materi video penistaannya berulang sampai puluhan kali. Juga Yahya Waloni, mengulang ceranah sama yang telah dilaporkan orang ke polisi.
Tampak sekali mereka "njarak" (memaksakan diri supaya ditangkap). Padahal, mereka pasti tahu ancaman hukuman menista agama lewat peranti seluler (UU ITE) cukup berat, enam tahun penjara.
Tapi kenapa mereka memaksakan diri menista agama? Apakah karena dengan menista agama, setelah keluar dari penjara kelak bisa diangkat menjadi komisaris BUMN. Apakah mereka pikir menjalani hukuman penjara sebagai penista agama menjadi syarat untuk diangkat menjadi komisaris BUMN?
Bahkan belakangan melebar, bukan hanya mantan terpidana penista agama yang bisa menjadi komisaris BUMN, mantan terpidana korupsi juga sudah menjadi tiket baru untuk diangkat menjadi komisaris BUMN.
Kalau memang demikian trennya, sebentar lagi kita kewalahsn menghadapi orang ramai-ramai "njarak" menista agama dan korupsi demi memenuhi syarat untuk diangkat menjadi komisaris BUMN.
Pola itu bisa saja menjurus ke model yang sudah jadi, bahkan mapan (de facto). Selain itu, peniruan atas contoh kasus yang cetho welo-welo (terang benderang) bukan hal yang mustahil. Sehingga jika hal itu dinilai bukan pada tempatnya, maka modelnya itu sendiri yang harus diperbaiki.
Pada model yang ada itu, untuk dinilai yang kurang pada tempatnya, adalah kecenderungan penguasa kurang mempertimbangkan kepatutan etika dan moral masyarakat. Apalagi hingga timbul kesan, semakin buruk perbuatan melanggar etika moral yang dilakukan, semakin tinggi pula apresiasi diberikan.
Dengan bergitu, patokan etika moral sebagai pedoman atau panutan perilaku dalam masyarakat jadi kabur. Karena justru yang nenyimpang dan salah dalam praktik etika moral yang mendapatkan penghargaan tinggi.
Tentu saja keliru dan menyesatkan menjadikan contoh kasus yang kurang pada tempatnya menjadi acuan arah menapak ke masa depan.
Konon lagi kalau langkah orang-orang yang berjalan lurus menapaki jalur etika moral disalip untuk melapangksn jalan orang-orang yang berjalan miring, nyamping, serong, bahkan zig-zag, sehingga hal-hal yang serba tidak pada tempatnya dominan di ruang publik.
Menjadi kewajiban bersama semua elemen bangsa untuk menata kemgali ruan publik sesuai ideal semestinya. Agar orang tidak harus menista agama atau korupsi untuk eksis di tengah masyarakat. ***
0 komentar:
Posting Komentar