"Realitas APBN dengan anggaran rutin melampaui angka psikologis 80% itu jelas bisa menjadi pembenaran pada APBD yang telah lebih dahulu melewati, dari kelompok mayoritas (81%) kabupaten + kota yang belanja modal dan nonrutin lainnya di bawah 30%!" timpal Amir. "Bakal lebih parah lagi kalau komposisi APBN yang amat timpang itu dijadikan panutan daerah dalam penyusunan RAPBD, yang berakibat semakin ciut pula belanja modal (pembangunan) dan belanja sosial di daerah!"
"Peniruan daerah ke Pusat itu tak bisa dihalangi!" tegas Umar. "Apalagi menjadi kenyataan, peningkatan transfer dana Pusat ke daerah yang mencapai tiga kali lipat dalam tujuh tahun ini juga tak diikuti peningkatan pembangunan yang sebanding di daerah—kecenderungannya justru semakin besar dana dicurahkan Pusat, kian kecil pula pembangunan yang terlihat di daerah! Itu terlihat dari transfer APBN ke daerah, 2005 sebesar Rp150,42 triliun, pada 2011 menjadi 405,07 triliun dan 2012 Rp 464,40 triliun." (Kompas, idem)
"Dengan porsi anggaran pembangunan yang kian minim di daerah itu, sukar dibantah asumsi umum bahwa peningkatan tajam transfer dana Pusat ke daerah hanya dijadikan bancakan elite politik dan birokrat daerah!" timpal Amir. "Itu karena gejala keabsolutan belanja birokrat, terutama di daerah, terjadi lebih sebagai akibat kolaborasi berpola sparing partner antara birokrat dan politisi! Bisa disebut sparing partner, karena tugas politisi dalam menjalankan hak kontrol dan hak budget-nya dilakukan dengan shadow boxing, cuma seolah-olah saja kritik ini kritik itu, sedang dalam praktek nyata kedua pihak kerja sama untuk saling membantu guna bisa menarik bagian masing-masing sebanyak-banyaknya dan sepuas-puasnya! Ini kunci yang membuat belanja birokrat semakin absolut saja!" *
0 komentar:
Posting Komentar