"ADA perspektif baru kemiskinan dari Sri Edi Swasono (Kompas, 28-7), di mana miskin bukan lagi persoalan keberadaan pada garis atau di bawah garis kemiskinan!" ujar Umar. "Seorang dosen bisa 'termasuk miskin' meski gajinya Rp2,4 juta, ia keluarkan untuk pekerja rumah tangga (PRT) Rp750 ribu, listrik Rp500 ribu, iuran RT/RW Rp200 ribu, cicilan laptop, pulsa, dan tetek bengek! Seseorang terpojok miskin, tulisnya, tatkala ia melihat iklan-iklan di televisi menayangkan kemewahan yang tidak terjangkau daya belinya, gebyar-gebyar kemewahan mengepung kemiskinannya yang menjadikan nestapa dalam keperihan hati!"
"Perspektif baru kemiskinan dari Sri Edi itu menegaskan kemiskinan bukan cuma realitas kondisi hidup papa serbakekurangan atas kebutuhan dasar manusia, melainkan juga perasaan yang bisa menyekap seseorang di tengah situasi kontras yang membuatnya jadi merasa miskin!" timpal Amir.
"Jadi, kemiskinan oleh realitas serbakekurangan kebutuhan dasar bisa disebut kemiskinan kondisional! Sedang kemiskinan yang dirasakan akibat tersekap situasi kontras di sekelilingnya bisa disebut kemiskinan situasional!"
"Begitulah!" sambut Umar. "Pegawai-pegawai negeri dan swasta pun, ia lukiskan, menjadi miskin oleh iklan-iklan rumah dan apartemen mewah metropolitan yang menggugah kecemburuan sosial dan menumbuhkan 'minderisasi' (inferiorization), sementara cicilan rumah sederhana mereka menjadi beban berkepanjangan!"
"Itu menambah perbendaharaan istilah, kemiskinan, dari kemiskinan struktural yang popular selama ini!" timpal Amir.
"Kemiskinan struktural terjadi akibat penindasan lapisan atas struktur sosial (patron) terhadap lapisan sosial di bawahnya (client). Hubungan patron yang menindas client itu kini mungkin bisa digambarkan dengan majikan yang menindas buruhnya, atau penguasa (dan politisi) yang menindas pendukung alias konstituennya!" "Kemiskinan strukrural yang terus berproses itu pula sebagai penyebab timbul dan menguatnya kemiskinan situasional yang mencuat akibat ketimpangan sosial semakin tajam!" tegas Umar. "Ketimpangan sosial kian tajam terjadi akibat mapannya penindasan patron terhadap client-nya, baik itu dalam bentuk penindasan majikan atas buruhnya maupun penindasan penguasa (dan politisi) terhadap massa konstituen pendukungnya!" "Kelompok patron itulah yang ditawari rumah dan apartemen mewah dengan cicilan lebih Rp10 juta/bulan!" tukas Amir. "Itu membuat kelompok client yang hanya lewat mendengar iklannya saja jadi merasa miskin!" ***
"Kemiskinan struktural terjadi akibat penindasan lapisan atas struktur sosial (patron) terhadap lapisan sosial di bawahnya (client). Hubungan patron yang menindas client itu kini mungkin bisa digambarkan dengan majikan yang menindas buruhnya, atau penguasa (dan politisi) yang menindas pendukung alias konstituennya!" "Kemiskinan strukrural yang terus berproses itu pula sebagai penyebab timbul dan menguatnya kemiskinan situasional yang mencuat akibat ketimpangan sosial semakin tajam!" tegas Umar. "Ketimpangan sosial kian tajam terjadi akibat mapannya penindasan patron terhadap client-nya, baik itu dalam bentuk penindasan majikan atas buruhnya maupun penindasan penguasa (dan politisi) terhadap massa konstituen pendukungnya!" "Kelompok patron itulah yang ditawari rumah dan apartemen mewah dengan cicilan lebih Rp10 juta/bulan!" tukas Amir. "Itu membuat kelompok client yang hanya lewat mendengar iklannya saja jadi merasa miskin!" ***
0 komentar:
Posting Komentar