"HASIL sementara Pilgub DKI Jakarta yang menempatkan pasangan calon Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Hidayat Nur Wahid-Didik J. Rachbini (keduanya philosophy doctor—Ph.D.) di urutan ketiga dengan perolehan suara 11,5%, mendorong partai dakwah itu layak introspeksi!" ujar Umar. "Alasannya, capaian itu hanya separuh hasil PKS pada Pemilu Legislatif 2009, malah seperempat suara PKS pada Pilgub DKI sebelumnya dengan calon Adang Darajatun!"
"Ada apa gerangan dengan PKS?" timpal Amir. "Hasil itu layak dicari penyebabnya karena bagi PKS, DKI Jakarta merupakan barometer bukan saja karena ibu kota negara, melainkan juga karena PKS sejauh ini masih lebih eksis sebagai partai kota besar! Karena itu, hasil yang mencerminkan gejala mengecilnya perolehan suara PKS di ibu kota negara itu menjadi alarm—tanda bahaya—terutama bagi target PKS meraih posisi 'tiga besar' dalam Pemilu 2014!"
"Alarm itu bahkan harus direspons lebih serius karena untuk Pilgub Jakarta kali ini PKS menurunkan jagonya yang terbaik, tokoh besar mantan Ketua MPR sekaligus inisiator Partai Keadilan—cikal bakal PKS!" tegas Umar. "Tokoh sebesar itu logikanya mampu mengeskalasi perolehan suara hingga lebih besar dari pilgub lima tahun lalu dan tampil mengalahkan petahana yang suara pendukungnya waktu itu kini dipecah oleh pengajuan calon tersendiri partai-partai bekas mitranya! Tapi logika itu terjengkang! Suara yang diperoleh justru longsor, jauh lebih rendah dari permukaan semula!"
"Introspeksi tahap pertama tentu atas kinerja PKS di DKI yang mungkin membuat banyak konstituen kecewa dan beralih ke lain hati!" tukas Amir.
"Hal yang paling mungkin membuat konstituen dongkol, sebagai kekuatan yang dominan di DPRD DKI, PKS memuluskan terbitnya perda menganiaya fakir-miskin dan anak-anak telantar sekaligus mengancam dengan pidana kurungan badan dan denda orang-orang yang kedapatan memberi bantuan kepada kaum duafa tersebut! Konstituen pengikut ajaran kiai kolot jelas tak bisa menerima aliran mazhab modern yang dikembangkan PKS di DPRD DKI itu! Kebetulan muncul Jokowi yang konon welas-asih dan penyayang sekaligus suka ngewongke kaum telantar, bisa ditebak ke mana konstituen PKS berbondong-bondong mengalihkan dukungannya!" "Lain hal lagi kinerja PKS di tingkat nasional—kabinet dan DPR, yang awam pun mudah mengindikasikan ambivalensi sikapnya—mau tetap ikut berkuasa tapi sering sok prorakyat, sikap yang amat dibenci penguasa!" sambut Umar. "Jika tadi pengikut kiai kolot yang hengkang, di tahap ini kalangan intelektual modernis yang tak menoleransi sikap politik mendua, cerminan split personality—kepribadian yang terbelah!" ***
"Hal yang paling mungkin membuat konstituen dongkol, sebagai kekuatan yang dominan di DPRD DKI, PKS memuluskan terbitnya perda menganiaya fakir-miskin dan anak-anak telantar sekaligus mengancam dengan pidana kurungan badan dan denda orang-orang yang kedapatan memberi bantuan kepada kaum duafa tersebut! Konstituen pengikut ajaran kiai kolot jelas tak bisa menerima aliran mazhab modern yang dikembangkan PKS di DPRD DKI itu! Kebetulan muncul Jokowi yang konon welas-asih dan penyayang sekaligus suka ngewongke kaum telantar, bisa ditebak ke mana konstituen PKS berbondong-bondong mengalihkan dukungannya!" "Lain hal lagi kinerja PKS di tingkat nasional—kabinet dan DPR, yang awam pun mudah mengindikasikan ambivalensi sikapnya—mau tetap ikut berkuasa tapi sering sok prorakyat, sikap yang amat dibenci penguasa!" sambut Umar. "Jika tadi pengikut kiai kolot yang hengkang, di tahap ini kalangan intelektual modernis yang tak menoleransi sikap politik mendua, cerminan split personality—kepribadian yang terbelah!" ***
0 komentar:
Posting Komentar