"BRT itu singkatan bus rapid transit—angkutan penumpang cepat! Tapi yang cepat terjadi malah pemogokan karyawannya!" ujar Umar. "Karyawan mogok menuntut pelunasan gaji itu jauh dari perkiraan atas perusahaan dengan banyak bus yang diberi konsesi usaha yang luas oleh Pemerintah Kota (Pemkot) sampai-sampai menggusur usaha (rute) bus DAMRI milik negara dan mempencundangi angkot maupun bus lama seperti Rajabasa—Panjang!"
"Pejalan kaki juga kena, trotoar tempat mereka jalan dihadang tanggul halte BRT, kalau telanjur naik harus turun lagi karena tangga cuma sebelah lalu dipaksa 'melipir' dari pinggir jalan untuk melewati halte hingga terancam disambar kendaraan!" timpal Amir. "Dari mogok karyawan itu terkesan Pemkot selaku regulator kurang menyimak keandalan manajemen BRT yang diberinya kepercayaan melaksanakan kewajiban pemerintah dalam melayani transportasi publik!"
"Belum lama beroperasi sudah kesulitan keuangan, berarti proyeksi cashflow-nya ada masalah!" tegas Umar. "Gejala ke arah itu sebenarnya sudah mencuat ketika BRT tiba-tiba mengutip lagi ongkos Pasar Tengah menuju Sukaraja kepada penumpang yang naik dari Rajabasa—padahal sebelumnya Rajabasa—Sukaraja sekali bayar dengan ongkos lebih mahal dari DAMRI untuk Rajabasa—Pasar Tengah! Karena bus DAMRI sudah disingkirkan, tanpa saingan BRT jadi seenaknya menetapkan tarif lebih berat ditanggung warga kota!"
"Meskipun memperberat beban warga, tetap tak mampu menutupi cashflow yang jebol oleh banyak rute tekor (arti BRT dalam realitasnya) akibat terlalu ambisiusnya proyek BRT!" tukas Amir. "Ambisius, jumlah armada per rute terlalu besar dibanding penumpang! Kayaknya pengadaan bus tanpa survei besarnya penumpang! Konsekuensinya, jumlah bus yang harus dicicil ke bank terlalu besar, sebanding jumlah awak bus yang harus digaji!"
"Tampaknya rasionalisasi perlu dilakukan, tapi rasionalisasi seperti apa yang harus dipelajari secara seksama oleh ahlinya!" tegas Umar.
"Semisal Trans-Pakuan Bogor, salah satu rasionalisasinya dengan menggunakan bahan bakar jelantah ayam goreng dari banyak restoran di kota itu—ketimbang dibuang! Terpenting, Pemkot tegas mengontrol tarif BRT seperti semula agar warga tak dirugikan salah urus cashflow BRT!" ***
0 komentar:
Posting Komentar