“INDEKS daya saing teknologi Indonesia di Global Growth Competitiveness Index rilisan World Economy Forum untuk 2012—2013 turun dari peringkat 46 ke 50 dari 144 negara yang disurvei!” ujar Umar.
“Menurut Menristek Gusti Muhammad Hatta, hal itu terjadi karena ‘ABG’—Akademisi, Business, Government—tak bisa bersinergi memproduksi hasil riset! Untuk mengatasi itu, Menristek menerapkan Insentif Sinas—Sistem Inovasi Nasional—mendorong aplikasi riset teknologi!” (detiknews, 16-3)
“Aplikasi riset ke produk industri sebenarnya hanya salah satu aspek dalam survei tersebut!” timpal Amir. “Secara komprehensif, kapasitas daya saing bangsa, utamanya kemampuan sumber daya manusianya dalam mengelola sumber-sumber daya memajukan peradaban manusia (termasuk moralitasnya) lewat sisi ekonomi, yang disurvei lewat sejumlah variabel! Itu terlihat pada 10 besar indeks dengan urutan Swiss, Singapura, Finlandia, Swedia, Belanda, German, Amerika Serikat, Inggris, Hong Kong, dan Jepang!”
“Memang, kita selalu masih menganggap remeh soal pelayanan publik, hingga kita tetap terbelit birokrasi yang mengisap rakyat, padahal variabel itu dipakai dalam banyak jenis survei mengukur kemajuan bangsa, dari indeks korupsi, indeks pembangunan manusia (IPM) sampai indeks daya saing!” tukas Umar. “Lihat, dalam indeks daya saing global, di ASEAN saja Indonesia di urutan 5 setelah Singapura (2), Malaysia (25), Brunei (28), dan Thailand (38).”
“Tapi untuk menghibur diri bolehlah Indonesia berbangga, meski di peringkat 50 posisinya di bawah Brasil dan Portugal, bahkan di atas Kazakhstan dan Afrika Selatan!” timpal Amir. “Tapi menghibur diri untuk berbangga dengan posisi 48 tingkat di bawah Singapura dan 25 tingkat di bawah Malaysia jelas konyol! Karena, justru realitas kita tertinggal jauh dari negara-negara tetangga itulah seharusnya menjadi cemeti buat melecut diri kita agar tidak selalu cuma merasa hebat sendiri!”
“Untuk mengejar ketertinggalan kita dalam hal kapasitas SDM seperti dari indeks teknologi itu, kita bisa melihat lewat hal-hal fisis pendukung kapasitas SDM!” tegas Umar. “Misalnya dalam konsumsi daging sapi, Malaysia 47 kg/kapita/tahun, sedang kita baru naik 0,2 kg menjadi 2,2 kg/kapita/tahun! Kalau bisa konsisten naik 0,2 kg/kapita/per tahun, 225 tahun ke depan kita baru menyamai Malaysia masa kini! Oke?” ***
0 komentar:
Posting Komentar