Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Kelompok Ultrakaya Tumbuh 62%!

POPULASI jutawan ultrakaya (ultra high net worth individuals atau UHNWI) di Indonesia tumbuh 62% pada periode 2009-2013. Menurut Welthinsight, pertumbuhan jumlah itu lebih banyak dari India, 28,4% dalam priode sama. (Kompas.com, 12/2) 

Pada 2013, Indonesia punya sebanyak 36.213 superjutawan dengan jumlah nilai kekayaan kolektif mencapai 230 miliar dolar AS atau setara Rp2.915 triliun. Pada 2018, jumlah mereka akan meningkat tajam menjadi 51.003 orang dengan kekayaan kolektif menjadi 336 miliar dolar AS atau setara Rp4.258 triliun. 

Dari total populasi tersebut, 55% atau sebanyak 19.954 orang superjutawan tinggal di Jakarta. Sebanyak 974 orang atau 2,7% tinggal di Bandung, selebihnya tersebar di kota-kota lain Indonesia.

Dengan kekayaan Rp2.915 triliun, 36.213 orang ultrakaya itu menguasai setara 30% produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2013 sebesar Rp9.500 triliun. Hal itu jelas menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi yang terus melebar di negeri ini. Sesuai hasil Sensus Sosial-Ekonomi Badan Pusat Statistik (BPS) Maret 2013, indeks gini Indonesia 0,41, peningkatan ketimpangan yang konsisten dalam lima tahu itu 2009 (0,37), 2010 (0,38), 2011 (0,39), dan 2012 (0,40). 

Bandingkan jika 36.213 orang ultrakaya punya setara 30% PDB, sedang 40% penduduk yang berpendapatan rendah, pengeluarannya menurut data BPS itu hanya 16,87% dari PDB. Ketimpangan amat parah terjadi di sektor pertanian. 

Menurut hasil Sensus Pertanian tahun itu, 57,8% petani hanya memiliki lahan rata-rata 0,018 hektare, 38% petani tidak memiliki lahan, dan hanya 4,2% petani yang memiliki lahan 0,5 hektare atau lebih. (Hidsal Jamil, Kompasiana, 16/10/2013) Usaha mengurangi ketimpangan yang giat dilakukan pemerintah dengan segala lagak dan gayanya selama ini terjebak kondisi paradoksal—jurang ketimpangan terus melebar (indeks gini) saat kelompok kaya makin kaya sedang kelompok miskin semakin miskin (data distribusi tanah 95,8% petani berlahan di bawah 0,018 hektare dan tak berlahan). Paradoks itu terjadi akibat perintah UU Nomor 5/1960 dengan PP Nomor 224/1961 tentang redistribusi tanah tak dijalankan karena takut dilabeli land reform yang berbau komunis! 

Mending, Orde Baru meredistribusi tanah lewat transmigrasi, sedang pada Orde Reformasi transmigrasi hanya basa-basi. Apalagi yang di-endors sistem neoliberal, ketimpangan bisa lebih parah karena kebijakan dan kerja keras pemerintah hanya menguntungkan para pemilik modal belaka! ***

0 komentar: