DUA pesakitan di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Anas Urbaningrum dan Suryadharma Ali, disebutkan dalam pita berita Metro TV, Selasa (17/2), akan mengajukan gugatan praperadilan terhadap KPK terkait kasus mereka.
Tentu saja langkah mereka bisa dianggap latah setelah gugatan praperadilan BG atas KPK dimenangkan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (16/2). Tapi dari sisi pesakitan, putusan Hakim Sarpin Rizaldi itu bisa jadi benteng kemanusiaan jika ada penetapan status tersangka dilakukan semena-mena oleh penegak hukum, baik polisi, jaksa, maupun KPK.
Terobosan hukum menjadikan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan itu dilakukan dengan trik menjadikan penetapan status tersangka itu sebagai bagian dari proses penyidikan yang berawal dari keluarnya sprindik (surat perintah penyidikan).
Dengan itu, hakim menjadikan materi praperadilan itu soal penyidikan.
Dalam persidangan, hakim fokus pada masalah penyidikan, termasuk bukti-bukti sah sebagai dasar sprindik dan penetapan tersangka.
Tapi pihak KPK yang cenderung terfokus pada soal penetapan tersangka enggan memberikan bukti-bukti dari pokok perkara. Alasannya, di sidang praperadilan tak harus membuka bukti, seperti untuk sidang pokok perkara.
Bukti-bukti itu selama proses penyidikan masih dianggap rahasia karena kalau dibuka, saksi-saksi bisa bersepakat untuk mementahkannya.
Tapi, justru karena KPK dalam persidangan itu tak menghadirkan bukti-bukti yang cukup untuk dasar penerbitan sprindik, penyidikan sekaligus penetapan tersangka hakim nyatakan tidak sah.
Pengalaman itu perlu disimak oleh aparat penegak hukum, jika suatu hari nanti digugat praperadilan jangan sungkan mengajukan bukti-bukti yang telah dimiliki di muka sidang, tanpa kecuali hal itu merugikan penyidikan!
Tapi apa boleh buat, tanpa dihadirkannya bukti dimaksud, praperadilan hampir pasti dimenangkan pemohon!
Tapi, apakah cara yang merugikan proses penyidikan itu akan dilestarikan, terserah Mahkamah Agung (MA) dalam merespons jika ada yang mengajukan peninjauan kembali—PK!
Praperadilan secara prinsip merupakan benteng kemanusiaan, dalam arti setiap pesakitan harus mendapat perlakuan yang benar sesuai ketentuan dual process of law—benar pelaksanaan prosedural hukumnya, juga benar penerapan material hukumnya—bebas dari intervensi, tekanan, maupun motif politis, ekonomis (material), atau situasional! ***
0 komentar:
Posting Komentar