PEKAN ini diperingati 60 tahun Konferensi Asia-Afrika (KAA) yang dilaksanakan di Bandung 18—25 April 1955. KAA diikuti 29 negara Asia-Afrika yang baru merdeka, dibuka Presiden Soekarno dan dipimpin Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, menghasilkan Dasasila, 10 prinsip kerja sama internasional yang justru kian relevan dengan merajalelanya agresi atas integritas suatu negara dewasa ini.
Relevansi Dasasila juga harus ditekankan pada negara-negara pencetusnya, seperti Indonesia! Prinsip pertama Dasasila tegas menyatakan, "Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asas-asas yang termuat di dalam Piagam PBB". Tapi terbukti, kini indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia di peringkat 118 dunia, yang berarti pemenuhan hak-hak dasar manusia oleh negara masih jauh dari memadai, dan itu tak jauh berbeda dengan banyak negara peserta KAA.
Selain dorongan untuk menghormati hak-hak dasar manusia, Dasasila juga memberi garis perjuangan untuk perdamaian dunia dengan prinsip antiintervensi, antiagresi, dan menolak penggunaan kekerasan atas integritas suatu negara. Prinsip tersebut relevan bagi runyamnya konflik militer di Timur Tengah dewasa ini.
Tak kalah relevan prinsip Dasasila dalam menjunjung persamaan antarsuku bangsa dan antarbangsa saat rasialisme kerap muncul di negara-negara maju seperti Eropa! Prinsip persamaan Dasasila itu sering disebut sebagai inspirator bagi bangsa-bangsa terjajah masa itu untuk bangkit berjuang meraih kemerdekaan!
Dilengkapi dengan menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional, secara keseluruhan Dasasila menjadi energi terbentuknya Gerakan Nonblok pada 1961, suatu pemisahan negara-negara dunia ketiga dari blok kapitalis/kolonialis dan blok komunis.
Memperingati 60 tahun KAA, kalau pada pelaksanaannya 1955 Indonesia sebagai pemrakarsa—bersama Ceylon (Sri Lanka), Burma (Myanmar), dan Pakistan—sekarang Indonesia harus bisa jadi teladan dalam pengamalan hasil KAA—Dasasila! Untuk itu, tentu dengan prioritas yang bersungguh-sungguh dalam usaha pembangunan manusia, tak lagi sekadar retorika seperti selama ini dengan bukti peringkat IPM dunia yang amat buruk.
Keburukan IPM hasil usaha pembangunan manusia itu, akibat di balik retorikanya yang muluk-muluk, elite penguasa lebih mementingkan kemakmuran keluarganya! Bahkan, dengan korupsi, justru terhadap dana pembangunan manusia itu sendiri! Akibatnya, warga sasaran jadi lebih sengsara, menderita berkepanjangan! ***
0 komentar:
Posting Komentar