UNTUK mencapai target fiktif—dalam arti sekadar tertulis indah di atas kertas saja pun—atas target yang ditetapkan Presiden Joko Widodo pada Lampung mendukung swasembada pangan nasional, terkesan susah dibuat.
Target Lampung untuk 2015 tambahan surplus 1 juta ton lagi gabah kering giling—2014 Lampung sudah surplus 1 juta ton, ditambah 72 ribu ha tanaman jagung, dan 41 ribu ha kedelai.
Dari diskusi bertema Peran kehutanan mendukung swasembada pangan di Lampung Post, Rabu (1/4), diketahui target tanaman jagung di atas kertas baru dicapai 29 ribu ha, sedang kedelai baru dapat 8.000 ha.
Maksudnya tentu agar semua pihak saling membantu mencapai target jumlah luas tanaman, bibit dan pupuk dibantu pemerintah. Kesulitan mencapai target jagung dan kedelai itu, selain faktor lahannya juga petaninya telanjur fanatik singkong karena ada kepastian hasilnya, sukar diajak beralih ke tanaman lain yang berdasar pengalaman banyak risiko.
Salah satu jalan keluarnya mungkin harus diusahakan areal tumpang sari baru di kawasan hutan produksi. Lalu, menjadikan jagung dan kedelai sebagai tanaman sela di antara singkong yang baru tanam. Dengan bantuan bibit dan pupuk kepada petani, prospek dua kali panen—tanaman sela dan tanaman pokok—diharap banyak petani mau mencoba.
Lantas, jangan kira untuk tambahan target 1 juta ton gabah itu tak ada masalah. Misalnya, di atas kertas salah satu upaya untuk itu dengan menaikkan pola tanam Sekampung System 200%. Sekampung System adalah pola tanam atas 55 ribu ha sawah irigasi teknis dengan air dari Way (sungai) Sekampung, yang semula setahun sekali panen dibuat menjadi dua kali panen (200%).
Masalahnya, air Way Sekampung dari bendungan Argoguruh (Tegineneng) ke Trimurjo, Metro, dan seterusnya yang pada kemarau selama ini terlihat kering, apakah tiba-tiba musim gaduh nanti bisa memenuhi seluruh Sekampung System?
Kalangan aktivis lingkungan sejak 2009 sudah mengingatkan Way Sekampung dalam kondisi “sakit”.
Selisih debit air dari saat maksimal ke saat minimal yang pada 1968 hanya 5 liter per detik, pada 2001 menjadi 33 liter per detik, pada 2009 telah menjadi 84 liter per detik! Itu belum lagi kerusakan lanjutan 5 tahun terakhir! Ambang kritis disparitas debit air pada 20 liter per detik. Pada puncak kritis seperti sejumlah sungai di Tanggamus, pada musim hujan banjir bandang, kemarau kering!
Dengan semua itu tampak, partisipasi dari semua pihak dibutuhkan agar Lampung bisa memenuhi target dari Presiden! ***
0 komentar:
Posting Komentar