DALAM pidato penutupan masa sidang III 2014—2015, Ketua DPR Setya Novanto mengungkapkan rencana pembangunan gedung baru DPR. Gedung baru itu diharapkan akan menjadi ikon nasional, sebagai warisan bangsa karena setelah 70 tahun Indonesia merdeka dan 17 tahun reformasi, lembaga legislatif belum pernah dibangun secara mandiri.
Menurut Setya, Presiden Joko Widodo telah menyetujui dan akan menghadiri seremoni peletakan batu pertama pembangunan gedung tersebut pada 16 Agustus 2015 (Kompas.com, 25/4).
Rencana pembangunan gedung DPR pada priode lalu ditentang keras publik hingga akhirnya dibatalkan. Alasan penolakan publik, gedung DPR sekarang masih layak untuk tempat kerja anggota legislatif, malah tergolong tempat kerja luks dengan rehab toiletnya saja menelan miliaran rupiah.
Di sisi lain, rakyat masih sengsara, kontroversial dengan kinerja anggota DPR yang kurang optimal dan masih berlanjut hingga masa sidang III 2014—2015 ini DPR tidak menghasilkan satu pun UU.
Namun, kini rencana serupa muncul lagi, diembeli sebagai ikon nasional yang dibangun mandiri oleh DPR, sekaligus langsung disetujui Presiden. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen, Lucius Karus, menilai pembangunan gedung baru itu membuktikan DPR hanya mementingkan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan rakyat. "Setya Novanto menganggap DPR itu lahan proyek," kata Lucius (Kompas.com, idem). Proyek itu mandiri, bisa berarti dari perencanaan sampai pelaksanaannya selesai ditangani sendiri oleh DPR. Konon pula yang dibangun itu ikon nasional, pasti gedung megah, biayanya sangat besar—sebuah megaproyek! Keputusan Presiden menyetujui pembangunan gedung DPR itu oleh Lucius dianggap transaksional. "Besar kemungkinan ini transaksional. Presiden begitu mudah menyetujui rencana yang pastinya akan ditentang publik," ujar dia.
Dengan transaksional itu, DPR tidak akan terlalu kritis lagi pada kinerja pemerintahan. Menurut Lucius, itu menguatkan dugaan Jokowi makin teperosok dalam kubangan lumpur kepentingan, kehilangan nilai kebeningan jiwa untuk melihat sesuatu, termasuk pembangunan gedung parlemen secara benar. Namun, kenapa Ketua DPR dan Presiden tidak peduli reaksi publik yang pernah menolak pembangunan gedung DPR? Bisa jadi karena publik kini tidak sekuat waktu itu, seperti terlihat dari pelemahan KPK dan pelantikan Budi Gunawan menjadi wakapolri yang tidak mendapat reaksi atau protes dari publik yang signifikan! ***
Namun, kini rencana serupa muncul lagi, diembeli sebagai ikon nasional yang dibangun mandiri oleh DPR, sekaligus langsung disetujui Presiden. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen, Lucius Karus, menilai pembangunan gedung baru itu membuktikan DPR hanya mementingkan kepentingannya sendiri, bukan kepentingan rakyat. "Setya Novanto menganggap DPR itu lahan proyek," kata Lucius (Kompas.com, idem). Proyek itu mandiri, bisa berarti dari perencanaan sampai pelaksanaannya selesai ditangani sendiri oleh DPR. Konon pula yang dibangun itu ikon nasional, pasti gedung megah, biayanya sangat besar—sebuah megaproyek! Keputusan Presiden menyetujui pembangunan gedung DPR itu oleh Lucius dianggap transaksional. "Besar kemungkinan ini transaksional. Presiden begitu mudah menyetujui rencana yang pastinya akan ditentang publik," ujar dia.
Dengan transaksional itu, DPR tidak akan terlalu kritis lagi pada kinerja pemerintahan. Menurut Lucius, itu menguatkan dugaan Jokowi makin teperosok dalam kubangan lumpur kepentingan, kehilangan nilai kebeningan jiwa untuk melihat sesuatu, termasuk pembangunan gedung parlemen secara benar. Namun, kenapa Ketua DPR dan Presiden tidak peduli reaksi publik yang pernah menolak pembangunan gedung DPR? Bisa jadi karena publik kini tidak sekuat waktu itu, seperti terlihat dari pelemahan KPK dan pelantikan Budi Gunawan menjadi wakapolri yang tidak mendapat reaksi atau protes dari publik yang signifikan! ***
0 komentar:
Posting Komentar