PRESIDEN Joko Widodo merilis Peraturan Pemerintah (PP) No. 16/2015 tentang Sumbangan Masyarakat untuk Fakir Miskin. PP ini mengacu Pasal 37 UU No. 13/2011 tentang Penanganan Fakir Miskin, mengatur pengumpulan dan penggunaan sumbangan masyarakat untuk fakir miskin oleh menteri, gubernur, bupati/wali kota. (detik.com, 21/4)
Sumbangan masyarakat dalam UU ini merupakan sumber pendanaan kelima untuk penanganan fakir miskin. Sumber dana pertama APBN, kedua APBD, ketiga CSR atau dana yang disisihkan dari perusahaan perseroan, dan keempat dana hibah dari dalam maupun luar negeri.
PP No. 63/2013 pelaksanaan UU itu Pasal 2 berbunyi, (1) Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pelaksanaan penanganan fakir miskin. (2) Masyarakat berperan serta dalam pelaksanaan penanganan fakir miskin yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam penanganan fakir miskin, menurut Pasal 31 UU No. 13 pemerintah kabupaten/kota bertugas menyediakan sarana dan prasarana bagi penanganan fakir miskin, mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam APBD untuk menyelenggarakan penanganan fakir miskin. Selain itu, memfasilitasi, mengoordinasikan, menyosialisasikan, mengawasi, serta mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program.
Lalu, melaksanakan pemberdayaan pemangku kepentingan. Tampak, tugas pemerintah dominan dalam menangani fakir miskin. Lebih lagi, dalam memenuhi hak fakir miskin sesuai Pasal 3, (a) memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan; (b) memperoleh pelayanan kesehatan; (c) memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; (d) mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai dengan karakter budayanya. Juga hak (e) mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya; (f) memperoleh derajat kehidupan yang layak; (g) memperoleh lingkungan hidup yang sehat; (h) meningkatkan kondisi kesejahteraan berkesinambungan; dan (i) memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Untuk itu, sumbangan masyarakat perlu dikelola efektif oleh pemerintah daerah bersama hibah dan CSR. Mengandalkan APBN/APBD saja, nyaris 70 tahun merdeka mayoritas fakir miskin masih telantar. ***
Dalam penanganan fakir miskin, menurut Pasal 31 UU No. 13 pemerintah kabupaten/kota bertugas menyediakan sarana dan prasarana bagi penanganan fakir miskin, mengalokasikan dana yang cukup dan memadai dalam APBD untuk menyelenggarakan penanganan fakir miskin. Selain itu, memfasilitasi, mengoordinasikan, menyosialisasikan, mengawasi, serta mengevaluasi pelaksanaan kebijakan, strategi, dan program.
Lalu, melaksanakan pemberdayaan pemangku kepentingan. Tampak, tugas pemerintah dominan dalam menangani fakir miskin. Lebih lagi, dalam memenuhi hak fakir miskin sesuai Pasal 3, (a) memperoleh kecukupan pangan, sandang, dan perumahan; (b) memperoleh pelayanan kesehatan; (c) memperoleh pendidikan yang dapat meningkatkan martabatnya; (d) mendapatkan perlindungan sosial dalam membangun, mengembangkan, dan memberdayakan diri dan keluarganya sesuai dengan karakter budayanya. Juga hak (e) mendapatkan pelayanan sosial melalui jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial dalam membangun, mengembangkan, serta memberdayakan diri dan keluarganya; (f) memperoleh derajat kehidupan yang layak; (g) memperoleh lingkungan hidup yang sehat; (h) meningkatkan kondisi kesejahteraan berkesinambungan; dan (i) memperoleh pekerjaan dan kesempatan berusaha.
Untuk itu, sumbangan masyarakat perlu dikelola efektif oleh pemerintah daerah bersama hibah dan CSR. Mengandalkan APBN/APBD saja, nyaris 70 tahun merdeka mayoritas fakir miskin masih telantar. ***
0 komentar:
Posting Komentar