KALAU merasa kurang nyambung dengan penerapan hukum oleh pemerintahan sekarang, terutama terkait korupsi, ada baiknya kalau melihat ulang Nawacita, sembilan program unggulan Joko Widodo-M Jusuf Kalla saat pilpres. Disarikan Kompas.com (21/5/2014) dari www.kpu.go.id, Nawacita terkait hukum berbunyi, "Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya."
Untuk itu, kalau KPK menurut UU-nya tidak boleh menghentikan kasus yang ditangani sampai selesai disidangkan, tentu bisa ditafsirkan sebagai aktualisasi menolak negara lemah kalau KPK menghentikan penyidikan kasus BG dan melimpahkan kasusnya ke Kejaksaan Agung.
Jadi, hal itu bisa disebut wujud reformasi sistem dan penegakan hukum versi Nawacita karena versi lama yang mungkin diasumsikan negara lemah hal itu tidak bisa dilakukan!
Demikian pula kalau kemudian Kejaksaan Agung melanjutkan perjalanan kasus BG dengan menyerahkan berkasnya kepada kepolisian, meski mantan penasihat KPK Abdullah Hehamahua menyebut baru pertama terjadi dalam sejarah, itu masih harus dilihat sebagai bagian dari proses reformasi sistem dan penegakan hukum berdasar Nawacita!
Sebab, di luar Nawacita tidak ada perjalanan berkas perkara terbalik dari jaksa ke polisi.
Setelah itu, masih ditunggu bagaimana aktualisasi atau pelaksanaan dari tafsir bebas korupsi dalam Nawacita tersebut. Kalau kekhawatiran sementara pihak, setelah diterima kepolisian, berkas tersebut akan ditangani oleh orang yang pernah menjadi anak buah BG sehingga kasusnya akan dinyatakan selesai tanpa proses lanjut di pengadilan, berarti istilah bebas korupsi dalam Nawacita bisa ditafsirkan bebas melakukan korupsi.
Kata “bebas” itu berarti boleh melakukan sesuatu dengan suka-suka sehingga bebas korupsi berarti bebas korupsi dengan suka-suka.
Andai hal seperti itu yang akhirnya terjadi, bisa dikonklusikan proses sistem hukum pemberantasan korupsi dalam Nawacita, cerminan dari negara kuat itu apabila proses hukum berjalan terbalik, dari KPK dilimpahkan ke kejaksaan, dari kejaksaan dilimpahkan ke kepolisian, lantas oleh kepolisian kasusnya diselesaikan dengan membebaskan tersangkanya.
Kemungkinan proses yang tengah berjalan itu salah tafsir sehingga seperti perpres tentang uang muka mobil pejabat bisa dikoreksi, bukan mustahil. Namun, kalau memang itulah tafsir Nawacita yang benar, rakyat harus bertanggung jawab karena Nawacita sudah ditawarkan saat kampanye dan rakyat membelinya! ***
0 komentar:
Posting Komentar