EKONOMI Indonesia kuartal 1 (Q1) 2015 terpuruk, hingga pertumbuhannya anjlok di bawah 5%. Ini, selain membuat kurs rupiah timbul tenggelam di Rp13 ribu/dolar AS, indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia yang sempat tembus 5.500, terkoreksi hingga 432 poin (8,49%) dua pekan terakhir, hingga 30 April ditutup pada 5.086. (Kompas.com, 4/5)
Keterpurukan ekonomi Indonesia pada Q1 yang berimbas ke bulan pertama Q2 itu, menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, akibat faktor eksternal masih berlanjutnya krisis global. Jika benar cuma itu penyebabnya, Indonesia tak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi masalahnya guna mempercepat kembali laju pertumbuhan. Karena, krisis global itu di luar jangkauan kita.
Lain hal menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani, penyebab utama pelambatan pada Q1 akibat stagnasi fiskal, kelemahan pemerintah dalam mengelola anggaran negara, sehingga pasar kelangkaan aliran dana pembangunan.
Penyaluran dan penyerapan APBN pokok masalahnya sehingga pasar kelimpungan—industri otomotif, diikuti sektor lain, penjualan anjlok 15% hingga 30%.
Kalau pemerintah mau jujur mengakui kelemahan dan berusaha memperpaiki dari segala seginya ke kuartal-kuartal selanjutnya, persoalan membangkitkan dan mempercepat kembali pertumbuhan ekonomi bisa diharapkan.
Tetapi kalau pemerintah malah mengelak dan menolak mengakui pokok masalah ada pada dirinya dan enggan memperbaiki kelemahannya, masalahnya bisa panjang dan berlarut! Bukan mustahil, masalah ekonomi akan berbelit-belit mengikuti masalah hukum di negeri ini belakangan, seperti imbas konflik KPK-Polri, hanya karena penerintah enggan melihat dan mengatasi kaitan masalah pada dirinya.
Kian lama, masalah justru tambah runyam saja!
Jadi, untuk bangkit dari keterpurukan di Q1 yang masih berlanjut ke bulan pertama Q2 bahkan memukul pasar saham yang capaian rekornya sepanjang sejarah di medio April dihadiri Presiden, sebenarnya sederhana, pemerintah segera menggenjot belanja pembangunan agar uangnya mengalir ke pasar.
Tapi untuk itu juga tak mudah, harus membenahi daya serap anggaran pada jajaran birokrasi pemerintah di seluruh Tanah Air. Semakin banyak pejabat enggan jadi pimpinan proyek, karena tanpa niat melakukan korupsi pun, banyak celah yang bisa dibuat menjerat dirinya dengan kasus korupsi. Padahal tantangan di lapangan ruwet, banyak orang datang bergaya intel merepotkan pimpro. ***
0 komentar:
Posting Komentar