Kata Kunci

Blogumulus by Roy Tanck and Amanda Fazani

Pengangguran Menggapai Puncak!

DATA Badan Pusat Statistik (BPS) Februari 2015 mencatat pengangguran menggapai puncak tertinggi sejak Agustus 2012, yakni mencapai 7,45 juta orang pada Februari 2015, melampaui angka tertinggi sebelumnya 7,24 juta orang pada Agustus 2012.

Jumlah pengangguran itu diperkirakan meningkat signifikan dengan laporan Kontan yang dikutip Kompas.com, Kamis (21/5), akibat pelambatan ekonomi dalam kuartal I 2015 telah terjadi PHK terhadap ratusan ribu orang pekerja di enam sektor usaha—tekstil, alas kaki, pertambangan, jasa minyak dan gas, semen, dan otomotif. 

Dari data Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) tercatat sejak Januari 2015 secara bertahap telah di-PHK sebanyak 11 ribu pekerja. Di sektor pertambangan yang dalam kuartal I 2015 bisnisnya mengalami minus 2,32%, telah mem-PHK ratusan ribu pekerja. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Batu Bara Indonesia (APBI) Pandu P Sjahrir, 400 ribu—500 ribu orang pekerja atau separuh dari 1 juta pekerja tambang batu bara dirumahkan, akibat kemerosotan harga komoditas tersebut. Juga di sektor mineral, pemberhentian ratusan ribu pekerjanya sudah dilakukan sejak larangan ekspornya dikeluarkan pemerintah tahun lalu. 

Dengan pengangguran terbuka pada data BPS Februari 2015 sebesar 5,8% dari 128,3 juta orang angkatan kerja, optimisme bahwa apabila proyek-proyek infrastruktur telah jalan nanti semua penganggur itu akan terserap habis, agaknya berlebihan juga. Masalahnya pekerja industri cenderung spesifik dengan keterampilan tertentu yang tak mudah ditarik ke pekerjaan umum sekelas kuli bangunan sektor infrastruktur. Sedang kalau maksudnya bersamaan dengan berjalannya proyek infrastruktur sektor-sektor bisnis lainnya ikut langsung bangkit, tentunya juga tidak serta-merta menyerap kembali pekerja yang telah di-PHK. 

Artinya, tercapainya puncak tertinggi angka pengangguran itu selain tak cukup hanya alasan klasik yang berulang disebut sebagai penyebabnya, seperti dampak krisis global, juga tak cukup sekadar pekerjaan yang ada akan menuntaskan jalan keluarnya. Sebab, dengan hanya mengandalkan alasan klasik itu, penyebab sebenarnya—kemungkinan ada salah langkah kebijakan—malah dibiarkan. Tak ayal, justru kesalahan laten itu yang dipelihara. Tanpa mengoreksi kesalahan yang tepat penyebab memuncaknya pengangguran, sehingga yang sakit perut tapi yang ditempel plester matanya, usaha menurunkan angka pengangguran untuk survei Agustus 2015, kemungkinan hasilnya kurang signifikan! ***

0 komentar: