DI tengah ketegasan rezim penguasa tiga negara—Thailand, Indonesia, dan Malaysia—menolak untuk menampung ribuan warga Rohingya yang terombang-ambing di laut, nelayan Aceh membawa lebih 600 jiwa pengungsi itu mendarat di Kuala Langsa, Aceh Timur. Dari mereka diketahui betapa berat penderitaan mereka, kehabisan makanan dan air bersih sehingga banyak yang jatuh sakit akibat hanya minum air asin.
Setelah televisi berita menyiarkan amat parahnya kondisi kaum yang malang itu, barulah penguasa Indonesia dan Malaysia tergugah rasa kemanusiaannya untuk kemudian sepakat memberi pertolongan dengan menempatkan mereka pada sebuah pulau di Indonesia. Tentu, salut harus disampaikan kepada para nelayan Aceh yang setelah melihat kondisi kritis di tengah laut itu langsung menyelamatkan mereka dengan membawanya mendarat.
Nantinya setelah mereka di penampungan, Pemerintah RI dan Malaysia tentu bekerja sama dengan PBB urusan pengungsi (UNHCR) merawat dan memulihkan kesehatan mereka. Bersamaan itu PBB mengajak Kedubes Myanmar di Jakarta membereskan kelengkapan identitas para pengungsi tersebut, seperti dilakukan terhadap ratusan warga Myanmar korban perbudakan di Benjina, Maluku. Dengan kelengkapan itu, nantinya setelah pelatihan kerja yang dilakukan Pemerintah RI dan Malaysia selesai sehingga mereka mampu sebagai pekerja imigran, tinggal mengatur penempatannya di negara yang membutuhkan.
Usai itu, tugas penampungan sementara selesai, pulaunya bisa dikosongkan kembali seperti Pulau Galang setelah pengungsi Vietnam tuntas dibantu. Diharapkan, prosesnya lancar. Soal melatih dan menempatkan pekerja imigran, Indonesia punya banyak perusahaan pengerah tenaga kerja. Sedang kelanjutan hidup warga Rohingya kemudian, tentu jadi diaspora yang tetap berhubungan dengan konsul jenderal negaranya di tempatnya merantau. Atau, bisa beralih kewarganegaraan tempat mereka akhirnya menetap.
Akhirnya, melalui kasus manusia perahu Rohingya ini para pemimpin bangsa kita belajar bersikap konsekuen menyelaraskan ucapan dan tindakannya. Setiap elite pemimpin kita bicara mengunggulkan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara, tapi ketika sendi universal dari Pancasila itu menuntut pembuktian implementasinya, rezim penguasa justru menolak dengan bahasa yang tegas. Untunglah ada gugahan dari nelayan yang Pancasila sudah merupakan darah dagingnya—bukan seperti pada kalangan elite, Pancasila sekadar hiasan bibir semata! ***
Nantinya setelah mereka di penampungan, Pemerintah RI dan Malaysia tentu bekerja sama dengan PBB urusan pengungsi (UNHCR) merawat dan memulihkan kesehatan mereka. Bersamaan itu PBB mengajak Kedubes Myanmar di Jakarta membereskan kelengkapan identitas para pengungsi tersebut, seperti dilakukan terhadap ratusan warga Myanmar korban perbudakan di Benjina, Maluku. Dengan kelengkapan itu, nantinya setelah pelatihan kerja yang dilakukan Pemerintah RI dan Malaysia selesai sehingga mereka mampu sebagai pekerja imigran, tinggal mengatur penempatannya di negara yang membutuhkan.
Usai itu, tugas penampungan sementara selesai, pulaunya bisa dikosongkan kembali seperti Pulau Galang setelah pengungsi Vietnam tuntas dibantu. Diharapkan, prosesnya lancar. Soal melatih dan menempatkan pekerja imigran, Indonesia punya banyak perusahaan pengerah tenaga kerja. Sedang kelanjutan hidup warga Rohingya kemudian, tentu jadi diaspora yang tetap berhubungan dengan konsul jenderal negaranya di tempatnya merantau. Atau, bisa beralih kewarganegaraan tempat mereka akhirnya menetap.
Akhirnya, melalui kasus manusia perahu Rohingya ini para pemimpin bangsa kita belajar bersikap konsekuen menyelaraskan ucapan dan tindakannya. Setiap elite pemimpin kita bicara mengunggulkan Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara, tapi ketika sendi universal dari Pancasila itu menuntut pembuktian implementasinya, rezim penguasa justru menolak dengan bahasa yang tegas. Untunglah ada gugahan dari nelayan yang Pancasila sudah merupakan darah dagingnya—bukan seperti pada kalangan elite, Pancasila sekadar hiasan bibir semata! ***
0 komentar:
Posting Komentar