CHAUVIN seorang prajurit Prancis amat membanggakan jenderalnya, Napoleon Bonaparte. Ia tak peduli dirinya terluka dan cacat seumur hidup atas kesalahan dan ambisi Napoleon yang berakibat banyak prajurit tewas dan misi gagal. Bahkan, setelah Napoleon gila dibuang ke Pulau Elba, Chauvin tetap memujanya sebagai pemimpin terbaik.
Fanatisme buta seperti itu kemudian diabadikan jadi pengikut sang prajurit, Chauvinist. Namun, sebutan Chauvinist kemudian berkembang juga untuk paham Nazi, sebuah nasionalisme buta yang beranggapan ras bangsanya paling unggul atau superior dibanding bangsa lain.
Nasionalisme dengan keunggulan yang buta itu, berkembang jadi chauvinisme yang justru sebagai cangkang untuk menutupi kekurangan dalam realitas buruk rakyat negerinya, terutama di negeri komunis.
Lewat indoktrinasi ideologis rakyat dibuat berbangga justru dengan kemiskinan dan penderitaannya sebagai pengorbanan bersemangat patriot demi cita-cita kejayaan bangsanya.
Nasionalisme sebagai cangkang dijadikan penutup diri dari pengaruh asing, dengan segala sesuatu yang buruk di mata asing mereka negasikan sebagai kekhasan hak kedaulatan bangsanya, bangsa lain tak boleh mencampuri urusan internalnya.
Dengan cangkang itu nasionalismenya jadi sempit, karena juga menutup diri dari konvensi universal yang berlaku di NGO antarbangsa sejenis statuta FIFA maupun organisasi mondial lainnya. Juga menutup dari kecenderungan yang berkembang pada bangsa-bangsa lain, seperti terus meluasnya gerakan antihukuman mati yang kini telah berlaku di 146 dari 207 negara di dunia.
Dengan cangkang yang keras menutup rapat dari argumentasi dan dalil-dalil yang dipakai perjuangan menghentikan hukuman mati yang selain berdasar norma dan nilai HAM, juga lewat pemaknaan kembali nilai-nilai samawi.
Salah satunya, Tuhan tidak membebani manusia di luar batas kemampuannya. Karena manusia tak mampu menciptakan nyawa manusia, tak pada tempatnya jika manusia melewati batas kemampuan yang diberikan Sang Pencipta dirinya, menghabisi nyawa sesamanya.
Pemaknaan kembali nilai-nilai diproses sebagai aktualisasi peradaban luhur yang menjunjung tinggi eksistensi manusia sebagai ciptaan-Nya terbaik. Tapi dengan gerakan yang persuasif, nilai-nilai hasil pemaknaan baru untuk memajukan peradaban itu selalu mental, tak mampu menembus cangkang chauvinist nasionalisme sempit yang justru semakin keras! ***
0 komentar:
Posting Komentar