KAMIS, 14 Mei, beredar luas informasi bahwa pada 15 Mei 2015, pukul 00.00, harga BBM nonsubsidi naik. Pertamax dari Rp8.800/liter menjadi Rp9.600. Pertamax plus jadi Rp10.550.
Namun, menjelang tengah malam, muncul pers rilis Pertamina membatalkan kenaikan harga semua jenis BBM nonsubsidi. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said menyatakan pembatalan tersebut atas permintaan pemerintah.
"Karena kami sedang terus mengkaji pola penyesuaian harga BBM agar tidak memicu gejolak," jelas Sudirman. Dalam penyesuaian harga BBM pemerintah memperhatikan aspek perekonomian dan beban masyarakat. Lagi pula, tukasnya, pemerintah tak boleh melepaskan harga BBM pada mekanisme pasar semata-mata. (Kompas.com, 15/5)
Sebelumnya, VP Corporate Communication Pertamina Wianda Pusponegoro menyatakan kenaikan pertamax Rp800/liter itu karena sesuai perhitungan perseroan harga indeks pasar naik 9,7%. Penguatan dolar AS juga menjadi acuan.
Kalau Pertamina sensitif dengan perubahan harga BBM di pasar internasional bisa dipahami, karena pimpinan baru BUMN Migas itu, dengan Direktur Utama Dwi Soetjipto dan Komisaris Utama Tanri Abeng menerima warisan utang yang berat, sebesar Rp208 triliun (16 miliar dolar AS pada kurs Rp13 ribu/dolar AS).
Sehingga, ketika harga penjualan BBM nonsubsidi lebih rendah dari harga di pasar internasional, mereka tertekan tambahan utang baru.
Apalagi obsesinya mencapai efisiensi dan penghematan maksimal.
Rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas atau Tim Antimafia Migas dipimpin ekonom Faisal Basri untuk menutup Petral, anak perusahaan Pertamina di Singapura, serta-merta dilaksanakan. Sekaligus menutup anak perusahaan Petral, Pertamina Energi Services Pte Ltd di Singapura, dan Zambesi Investment Ltd di Hong Kong.
Dwi Soetjipto mengungkap sejak Petral tidak terlibat dalam perniagaan migas, potensi penghematan Pertamina sebesar 400 juta dolar AS atau Rp5,2 triliun.
"Dalam tiga bulan saja Pertamina sudah mendapatkan penghematan sebesar 22 juta dolar AS atau sekitar Rp288 miliar," ujar Soetjipto. (MI, 15/4)
Meski demikian, Faisal Basri mendesak dilakukan audit forensik terhadap Petral agar mafia migas bisa dibuktikan adanya, tak hanya cerita fiktif.
Untuk itu, perlu dijaga pemerintah tidak melimpahkan beban ke pundak Pertamina demi meningkatkan citra. Agar, Pertamina tumbuh sehat sebagai andalan bangsa dalam persaingan global. Era mengorbankan Pertamina demi citra penguasa harus diakhiri! ***
0 komentar:
Posting Komentar