MK—Mahkamah Konstitusi—memperluas kewenangan praperadilan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan memasukkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan sebagai objek praperadilan.
Pasal 77 huruf (a) KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak dimaknai praperadilan dapat memeriksa ketiga tindakan penyidik tersebut.
Begitu putusan MK dalam sidang yang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat, Selasa (28/4). MK mengabulkan permohonan Bachtiar Abdul Fatah, karyawan PT Chevron Pacific Indonesia, yang menguji Pasal 1 Angka (14), Pasal 17, Pasal 21 Ayat (1), dan Pasal 77 KUHAP. (Kompas, 29/4)
Dalam putusan itu, tiga hakim konstitusi, I Dewa Gede Palaguna, Muhammad Aliem, dan Aswanto, mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion). Ketiganya berpendapat MK seharusnya menolak permohonan Bachtiar tersebut.
Menurut MK, bukti permulaan yang cukup harus dimaknai dengan minimal dua alat bukti dan perlu disertai dengan pemeriksaan calon tersangka, kecuali atas tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).
Pemeriksaan calon tersangka itu untuk transparansi dan perlindungan hak asasi agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka sudah memberi keterangan seimbang atas dua alat bukti yang didapat penyidik.
MK menyatakan praperadilan jadi tempat bagi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka memperjuangkan haknya. Ini semata-mata untuk melindungi seseorang dari tindakan sewenang-wenang penyidik yang sangat mungkin terjadi ketika menetapkan tersangka.
Namun, MK menegaskan perlindungan terhadap hak tersangka tidak serta-merta diartikan bahwa yang bersangkutan tidak bersalah.
Upaya itu tidak menggugurkan dugaan adanya tindak pidana sehingga tetap dapat dilakukan penyidikan kembali sesuai kaidah hukum yang berlaku.
Berarti, putusan praperadilan mengoreksi kesalahan prosedural dalam penetapan tersangka, tidak menyangkut substansi dugaan tindakan pidananya.
Sehingga, dengan putusan MK ini meski telah diputus praperadilan penetapan tersangka tidak sah, penegak hukum (polisi, jaksa, KPK) tetap bisa mengulang dari awal proses penyelidikan kasus pidananya.
Jadi tidak seperti kasus BG, KPK menyatakan tidak berhak menangani kasusnya setelah kalah di praperadilan dan melimpahkan ke kejaksaan. Tapi setelah putusan MK ini, KPK berhak untuk menyelidiki dari proses awal kembali—sekadar contoh. ***
0 komentar:
Posting Komentar